Gadis berkacamata itu masih saja menyunggingkan senyumnya. Ah, jilbabnya yang anggun mulai mengusik ketentraman hatiku.
Masih seperti kemarin... Aku hanya bisa menatapmu dari balik jeruji kamar ini.
"Siapakah engkau?"
Begitu gumamku dalam hati. Namun apalah artinya pertanyaan tanpa sebuah jawaban. Bukankah itu hanya menyakitkanku saja. Ya, sakit. Sama seperti takdirku yang meringkuk di kamar biadab ini.
"Saudara Bondan, ada yang ingin menemuimu. Silahkan bersiap-bersiap menemui tamumu itu. Oh ya, wajahnya boleh juga!" Sipir bermata sipit ini sepertinya mengejekku. Ah, sudahlah! Tak ada gunanya pula bermusuhan dengan anjing seperti dia.
"Assalaamu alaikum...."
Deg! Ternyata tamuku kali ini adalah gadis itu. Gadis berkaca mata dengan kerudung lebar yang aku curi wajahnya dari jeruji besi itu kemarin pagi.
"Maaf pak. Sedari kemarin saya mencari Bapak. Ketika kemarin saya hendak menemui Bapak, tiba-tiba isteri Bapak menyuruh saya untuk menemuinya terlebih dahulu di kantin penjara ini. Dan Beliau meminta agar hari ini saja saya menemui Anda. Oh ya pak, saya mohon maaf karena belum memperkenalkan diri saya. Nama saya Fatimah. Saya pengacara isteri Bapak. Saya hanya ingin memberitahu Bapak, isteri Bapak, Ibu Nelly, bermaksud mengajukan gugatan cerai pada Bapak. Besok adalah hari dimana Bapak dibebaskan. Saya harap Bapak bisa bekerja sama dengan baik untuk mengurus perihal perceraian Anda dengan ibu Nelly."
Damn! Gadis muda ini ternyata pengacara isteriku. Besok aku bebas dari penjara sialan ini. Tunggu saja Anthony, aku akan membunuhmu.
Kau tidak hanya menyebabkan aku masuk ke dalam penjara laknat ini. Tapi kau juga telah meninggalkan luka kelelakianku. Perselingkuhanmu dengan isteriku sungguh menyakitkanku. Kini, aku diambang perceraian. Dan membunuhmu adalah satu-satunya cara untuk membahagiakan hidupku. Bersiaplah Anthony!
Friday, September 4, 2015
LOVE STORY
30 Agustus 2015
Mencintaimu adalah kutukan terindah dalam lembaran hidupku. Mencintaimu, hanyalah mengenang luka-luka lama. Luka yang masih berjejer rapi dalam dinding kamarku.
Nun jauh disana, dilubuk hatiku yang terdalam, engkau hanyalah samudera perih yang memuakkan. Sungguh!
Apatah ada lagi sesuatu yang lebih memuakkan selain mencintaimu? Tak ada!
Sekarang..... Ketika jampi-jampi cinta itu mulai sirna, ternyata berkebalikan dengan apa yang aku harapkan.
Kau.... benar-benar mencintaiku.
Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan ranum kebencian masih bersemayam mesra dalam ingatanku.
2006
"Maaf mas.... Aku hanya menganggapmu sebagai kakak... Maafkan aku...."
Mencintaimu adalah kutukan terindah dalam lembaran hidupku. Mencintaimu, hanyalah mengenang luka-luka lama. Luka yang masih berjejer rapi dalam dinding kamarku.
Nun jauh disana, dilubuk hatiku yang terdalam, engkau hanyalah samudera perih yang memuakkan. Sungguh!
Apatah ada lagi sesuatu yang lebih memuakkan selain mencintaimu? Tak ada!
Sekarang..... Ketika jampi-jampi cinta itu mulai sirna, ternyata berkebalikan dengan apa yang aku harapkan.
Kau.... benar-benar mencintaiku.
Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan ranum kebencian masih bersemayam mesra dalam ingatanku.
2006
"Maaf mas.... Aku hanya menganggapmu sebagai kakak... Maafkan aku...."
Monday, August 31, 2015
MENDADAK APLIKASI

Pagi di tempat kerja kali ini dimulai dengan percakapan mengenai aplikasi baru yang harus diisi oleh masing-masing pegawai. Aplikasi lagi aplikasi lagi.... Hmmm.... Urip kok isine gur aplikasi thok! Mbuehehe....
Sebagai orang yang bekerja di salah satu instansi pemerintah, terang saja saya mendukung kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan dunia teknologi. Apalagi jika salah satu tujuan penerapan teknologi itu untuk mempermudah berbagai hal yang pada ujungnya adalah membuat kinerja lebih efektif dan efisien.
Sayangnya, ada beberapa aplikasi yang menurut saya tidak perlu diadakan lagi. Cukup direvisi saja. Sebagai contoh dulu ada aplikasi PADAMU NEGERI. Padahal sebelumnya sudah ada DAPODIK (Data Pokok Pendidikan). Tinggal direvisi saja menurut saya DAPODIK nya. Tapi entah pertimbangan apa, web PADAMU NEGERI itu diterapkan di instansi pendidikan (Sekolah).
Sebagian besar isian di PADAMU NEGERI sudah ada di program DAPODIK. Nah, ndak efisien kan? Apalagi web yang semestinya dikerjakan oleh masing-masing individu dilimpahkan kepada operator sekolah yang notabene merupakan petugas DAPODIK. Memang sih tidak semua sekolah melimpahkan pengisian PADAMU NEGERI ke operator, namun pada intinya, pekerjaan yang menurut saya bisa dikerjakan melalui DAPODIK (Tentu saja dengan merevisi web DAPODIK nya) akhirnya dikerjakan pada dua aplikasi yang berbeda. Padahal sebagian besar datanya sama.
Memang banyak penjelasan demi penjelasan tentang dua aplikasi tersebut. Namun pada akhirnya PROGRAM PADAMU NEGERI untuk saat ini dihentikan. Salut untuk pak Menteri Anies Baswedan :)
Kembali ke masalah aplikasi yang baru. Ketika saya melihat alamat situsnya, ternyata situs-situs tersebut merupakan situs pemerintahan. Hanya saja departemennya berbeda.
Saya sih positif thinking saja untuk aplikasi-aplikasi yang baru ini. Hanya saja, seandainya... ini sih sendainya.. sekali lagi, seandainya..... Seandainya ada pengintegrasian data yang dilakukan oleh pusat, saya pikir masing-masing departemen tidak perlu membuat beragam aplikasi data yang justru bermuara pada ketidakefektifan kinerja para aparatur negaranya. Ya termasuk saya ini yang berlum ber-NIP... mbuehehehe...
Harapan saya, semoga kedepan negara kita mempunyai sistem database yang bagus. Toh sudah banyak sarjana-sarjana IT di negara ini. Siapa lagi yang akan mengurus negeri sebesar ini kalau bukan kita sendiri.
BRAVO NKRI!
Friday, August 21, 2015
SPIRITUALITAS, UNTUK APA ENGKAU KINI?
Sebagai orang Jawa, dan kebetulan saya hidup dan dibesarkan di lingkungan kejawen tentunya saya sudah terbiasa dengan kehidupan para penganut aliran kejawen ini. Satu minggu, bahkan satu tahun tidaklah cukup untuk mengkaji para penganut aliran kejawen ini. Namun secara umum, para penganut aliran ini memiliki suatu "keistimewaan" berupa kebijaksanaan hidup yang menurut saya luar biasa dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kebetulan juga, saya memiliki keluarga yang menganut aliran kejawen ini. Jarang sekali mereka melakukan keburukan-keburukan berupa tindakan maupun kata-kata. Tentu saja penilaian ini disandarkan pada sistem nilai yang ada pada masyarakat Jawa pada umumnya.
Ora ngenyek, ora ngomeih, ora ngece, ora maling, ora madon, dan toleransi yang sangat tinggi terhadap orang lain (tepa slira) serta beberapa kebaikan lainnya mereka terapkan dalam kehidupan mereka. Kebijaksanaan hidup yang sudah tertanam dalam hati menjadikan para penganut kejawen ini menjadi pribadi-pribadi yang baik dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mungkin karena itulah, ketika agama-agama besar masuk ke bumi nusantara ini bisa diterima dengan baik oleh masyarakat nusantara, termasuk wong jawa.
Karena keistimewaaan berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup inilah, para "pentholan" kejawen pada zaman dahulu mendapatkan keistimewaan.
Salah satu keistimewaan tersebut adalah berupa penghormatan kepada pentholan/tokoh-tokoh tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak hanya dihormati saja, tapi juga disegani. Saran dan nasihat-nasihat mereka senantiasa diugemi, dijunjung tinggi dan dipraktekan oleh masyarakat.
Begitulah keadaan masyarakat ini pada zaman itu. Orang-orang memberikan keistimewaan berupa penghormatan kepada seseorang karena spiritualitasnya, bukan hartanya.
Baiklah, mari sejenak kita masuk kepada era masuknya agama-agama besar di nusantara.
Pada zaman Hindu, betapa para brahmana sangat dihormati, bahkan oleh sang Raja sekalipun. Mereka menjadi penasihat raja. Sehingga keputusan-keputusan yang diambil oleh sang rajapun tidak terlepas dari faktor spiritual.
Sampai pada zaman kerajaan Islampun, para ulama menjadi tokoh yang tidak bisa dinafikan keberadaannya. Mereka sangat dihormati dan diugemi.
Lalu, apa yang terjadi di zaman kita ini?
Apakah nilai spiritualitas masih digunakan oleh masyarakat/penguasa dalam menghormati/mengagungkan seseorang?
Ah, entahlah.... marilah kita bertanya pada rumput yang terbakar.....
Ora ngenyek, ora ngomeih, ora ngece, ora maling, ora madon, dan toleransi yang sangat tinggi terhadap orang lain (tepa slira) serta beberapa kebaikan lainnya mereka terapkan dalam kehidupan mereka. Kebijaksanaan hidup yang sudah tertanam dalam hati menjadikan para penganut kejawen ini menjadi pribadi-pribadi yang baik dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mungkin karena itulah, ketika agama-agama besar masuk ke bumi nusantara ini bisa diterima dengan baik oleh masyarakat nusantara, termasuk wong jawa.
Karena keistimewaaan berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup inilah, para "pentholan" kejawen pada zaman dahulu mendapatkan keistimewaan.
Salah satu keistimewaan tersebut adalah berupa penghormatan kepada pentholan/tokoh-tokoh tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak hanya dihormati saja, tapi juga disegani. Saran dan nasihat-nasihat mereka senantiasa diugemi, dijunjung tinggi dan dipraktekan oleh masyarakat.
Begitulah keadaan masyarakat ini pada zaman itu. Orang-orang memberikan keistimewaan berupa penghormatan kepada seseorang karena spiritualitasnya, bukan hartanya.
Baiklah, mari sejenak kita masuk kepada era masuknya agama-agama besar di nusantara.
Pada zaman Hindu, betapa para brahmana sangat dihormati, bahkan oleh sang Raja sekalipun. Mereka menjadi penasihat raja. Sehingga keputusan-keputusan yang diambil oleh sang rajapun tidak terlepas dari faktor spiritual.
Sampai pada zaman kerajaan Islampun, para ulama menjadi tokoh yang tidak bisa dinafikan keberadaannya. Mereka sangat dihormati dan diugemi.
Lalu, apa yang terjadi di zaman kita ini?
Apakah nilai spiritualitas masih digunakan oleh masyarakat/penguasa dalam menghormati/mengagungkan seseorang?
Ah, entahlah.... marilah kita bertanya pada rumput yang terbakar.....
Friday, August 7, 2015
Karena Cinta Memang Begitu
Tadi, sekilas melihat wajahmu di ruangan itu...
Dan matamu yang indah itu,
sedikit beberbenturan dengan hatiku
Bagaimana perasaanmu ketika itu?
Oh ya, kemarinpun aku berusaha mengintip wajahmu
Maafkan aku, karena cinta memang begitu
Thursday, August 6, 2015
Inlander
Sungguh, untuk kesekian kalinya aku merasa dibohongi oleh para petinggiku di Holland sana. Hmm, inlander yang ada di depanku ini adalah bukti nyata kalau petinggi-petinggi di negeriku benar-benar pembual.
"Apa yang Tuan pikirkan? Silahkan Tuan ambil nyawa saya ini. Tapi sekali lagi, jawab dulu pertanyaan saya tadi! Apakah tindakan Tuan di tanah kami ini sudah sesuai dengan ajaran Agama Tuan?"
Untuk kesekian kalinya, perkataan inlander ini benar-benar mencabik-cabik jiwaku.
Dia benar, sebagai penganut Kristen, aku memang tidak diajarkan untuk mengambil milik orang lain dengan semena-mena. Walaupun aku merasa bahwa tanah ini adalah milik kami, namun cara kami untuk mendapatkan tanah ini sungguh tak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada pada ajaran agamaku.
Aku percaya bahwa karena kekuasaan Tuhanlah kami dapat menaklukan negeri ini. Tapi sungguh ironi. Penaklukan yang konon oleh para penguasa di negeriku sana sudah dimulai sejak lama, namun pada hakikatnya penaklukan itu hanyalah pepesan kosong belaka.
Bagaimana dikatakan sudah menaklukan, sedangkan perlawanan demi perlawanan dari inlander seperti orang ini sudah ada sejak dulu kala. Dan sekarang, manusia macam ini masih banyak di tanah perlawanan ini. Bahkan makin banyak sahaja. Hmmm...
Bagaimana mungkin juga dikatakan telah menaklukan ketika hati-hati mereka memberontak di tengah-tengah mulut mereka yang terbungkam. Ah, pembual semua para petinggi di kerajaanku sana!
Dahulu,sebelum aku ditugaskan di tanah ini, mereka bilang kalau inlander-inlander macam itu orang adalah orang-orang bodoh. Nyatanya, ketika aku menginjakkan kakiku di tanah ini, betapa banyak orang-orang yang sudah biasa membaca buku-buku tebal yang aku sendiri tak tahu buku apa waktu itu.
Mereka terbiasa membaca itu di tempat-tempat ibadah mereka. Mereka menyebut tempat itu sebagai langgar. Ada juga yang menyebutnya Mesjid. Biasanya mereka membaca buku tebal itu ketika pagi-pagi sekali dan ketika malam hari. Mereka biasa berkumpul disana. Aku lihat ada salah satu orang yang menurutku sedang memberikan pidato atau apapun itu. Dan mereka yang mendengarnya senantiasa membawa buku tebal. Kadang juga buku tipis.
Bukan di langgar atau mesjid sana aku melihat inlender-inlander itu membaca. Di suatu tempat yang disebut padepokan, aku juga sering melihat anak-anak muda yang biasa disebut dengan cantrik sedang membaca buku tebal. Kusam bukunya. Tapi yang jelas, tak sepenuhnya omongan para penguasa di negeriku sana bisa dipercaya. Mereka para inlander ternyata sudah tak asing lagi dengan tulisan.
Bahkan, mereka memiliki peninggalan-peninggalan budaya yang luar biasa menurutku. Mulai dari alat-alat yang bisa mereka gunakan untuk bercocok tanam, alat-alat dapur dan yang membuatku kagum, ada belasan bangunan yang sudah berusia ribuan tahun masih dengan gagahnya berdiri disini.
Kesimpulanku, mereka para inlander bukanlah bangsa bodoh!
Ah, sungguh sukar dipercaya. Ketika aku bertemu dengan salah satu sahabatku yang berpura-pura menjadi bagian dari mereka, muslim, begitu sebutan mereka, sahabatku yang asli orang Holland ini mengatakan kalau kebiasaan belajar sesungguhnya sudah ada sejak zaman dahulu di tanah ini. Namun para penguasa dan penulis buku di kerajaan kita menutupinya.
"Kau tahu kan kebiasaan para pejabat di kerajaan kita. Mereka inlander! Kita harus memberikan stempel khusus bagi mereka. Bodoh, melarat, bau, terbelakang, dan aneka rupa kejelekan untuk mereka agar kita sebagai penguasa dinilai lebih segalanya di atas mereka!"
"Bagaimana Tuan? Apakah yang Tuan lakukan di negeri ini, merampas tanah kami, merampas makanan-makanan kami, merampas apa saja yang tuan inginkan disini... sudah sesuai dengan ajaran agama yang Tuan anut? Jika Tuan masih belum bisa menjawab pertanyaan saya, cepat tembakan bedil itu ke kepala saya. Mungkin Tuan akan puas setelah membunuh saya. Tapi saya jamin kalau saya lebih puas dibanding Tuan. Lebih baik saya mati dengan pelor di kepala atau di dada saya dari pada saya mati sia-sia di pinggir jalan sana! Hidup mulia menjadi manusia merdeka, atau mati syahid sebagai manusia terhormat adalah kehendak hidup saya!"
Untuk kesekian kalinya aku terhenyak. Tiba-tiba aku sadar kalau aku belum menjawab pertanyaan inlander ini.
Aku hanya bisa menatap wajah lelki muda ini dengan hening. Seketika itu juga, tiba-tiba aku teringat seseorang yang usianya kurang lebih sama dengan anak muda ini. Anakku... Ya, anakku. Sedang apa dia di tanah kelahiranku sana?
Semenjak Bertemu Denganmu
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured Post
Karakteristik Meeting Room yang Sesuai untuk Meeting
Karakteristik Meeting Room - Menjamurnya bisnis startup mendorong bermunculannya perusahaan pelayanan coworking space dan private space. Be...

-
Cinta bukanlah dagangan yang dijajakan di pinggir-pinggir trotoar jalan. Tapi bukan berarti ia tak ada di trotoar-trotoar itu. Ia senantiasa...
-
Sebelumnya penulis telah membahas seberapa penting alexa rank untuk sebuah blog atau website. Dan sekarang kita akan membahas bagaimana cara...
-
Bagi anda yang sedang mengembangkan bisnis dalam skala mikro kecil dan menengah di bidang retail, pengadaan barang ataupun penjualan barang ...