Monday, August 31, 2015

MENDADAK APLIKASI

BANGKRUT

Pagi di tempat kerja kali ini dimulai dengan percakapan mengenai aplikasi baru yang harus diisi oleh masing-masing pegawai. Aplikasi lagi aplikasi lagi.... Hmmm.... Urip kok isine gur aplikasi thok! Mbuehehe....

Sebagai orang yang bekerja di salah satu instansi pemerintah, terang saja saya mendukung kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan dunia teknologi. Apalagi jika salah satu tujuan penerapan teknologi itu untuk mempermudah berbagai hal yang pada ujungnya adalah membuat kinerja lebih efektif dan efisien.

Sayangnya, ada beberapa aplikasi yang menurut saya tidak perlu diadakan lagi. Cukup direvisi saja. Sebagai contoh dulu ada aplikasi PADAMU NEGERI. Padahal sebelumnya sudah ada DAPODIK (Data Pokok Pendidikan). Tinggal direvisi saja menurut saya DAPODIK nya. Tapi entah pertimbangan apa, web PADAMU NEGERI itu diterapkan di instansi pendidikan (Sekolah).

Sebagian besar isian di PADAMU NEGERI sudah ada di program DAPODIK. Nah, ndak efisien kan? Apalagi web yang semestinya dikerjakan oleh masing-masing individu dilimpahkan kepada operator sekolah yang notabene merupakan petugas DAPODIK. Memang sih tidak semua sekolah melimpahkan pengisian PADAMU NEGERI ke operator, namun pada intinya, pekerjaan yang menurut saya bisa dikerjakan melalui DAPODIK (Tentu saja dengan merevisi web DAPODIK nya) akhirnya dikerjakan pada dua aplikasi yang berbeda. Padahal sebagian besar datanya sama.

Memang banyak penjelasan demi penjelasan tentang dua aplikasi tersebut. Namun pada akhirnya PROGRAM PADAMU NEGERI untuk saat ini dihentikan. Salut untuk pak Menteri Anies Baswedan :)

Kembali ke masalah aplikasi yang baru. Ketika saya melihat alamat situsnya, ternyata situs-situs tersebut merupakan situs pemerintahan. Hanya saja departemennya berbeda.

Saya sih positif thinking saja untuk aplikasi-aplikasi yang baru ini. Hanya saja, seandainya... ini sih sendainya.. sekali lagi, seandainya..... Seandainya ada pengintegrasian data yang dilakukan oleh pusat, saya pikir masing-masing departemen tidak perlu membuat beragam aplikasi data yang justru bermuara pada ketidakefektifan kinerja para aparatur negaranya. Ya termasuk saya ini yang berlum ber-NIP... mbuehehehe...

Harapan saya, semoga kedepan negara kita mempunyai sistem database yang bagus. Toh sudah banyak sarjana-sarjana IT di negara ini. Siapa lagi yang akan mengurus negeri sebesar ini kalau bukan kita sendiri.

BRAVO NKRI!

Friday, August 21, 2015

SPIRITUALITAS, UNTUK APA ENGKAU KINI?

Sebagai orang Jawa, dan kebetulan saya hidup dan dibesarkan di lingkungan kejawen tentunya saya sudah terbiasa dengan kehidupan para penganut aliran kejawen ini. Satu minggu, bahkan satu tahun tidaklah cukup untuk mengkaji para penganut aliran kejawen ini. Namun secara umum, para penganut aliran ini memiliki suatu "keistimewaan" berupa kebijaksanaan hidup yang menurut saya luar biasa dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kebetulan juga, saya memiliki keluarga yang menganut aliran kejawen ini. Jarang sekali mereka melakukan keburukan-keburukan berupa tindakan maupun kata-kata. Tentu saja penilaian ini disandarkan pada sistem nilai yang ada pada masyarakat Jawa pada umumnya.

Ora ngenyek, ora ngomeih, ora ngece, ora maling, ora madon, dan toleransi yang sangat tinggi terhadap orang lain (tepa slira) serta beberapa kebaikan lainnya mereka terapkan dalam kehidupan mereka. Kebijaksanaan hidup yang sudah tertanam dalam hati menjadikan para penganut kejawen ini menjadi pribadi-pribadi yang baik dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Mungkin karena itulah, ketika agama-agama besar masuk ke bumi nusantara ini bisa diterima dengan baik oleh masyarakat nusantara, termasuk wong jawa.

Karena keistimewaaan berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup inilah, para "pentholan" kejawen pada zaman dahulu mendapatkan keistimewaan.


Salah satu keistimewaan tersebut adalah berupa penghormatan kepada pentholan/tokoh-tokoh tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak hanya dihormati saja, tapi juga disegani. Saran dan nasihat-nasihat mereka senantiasa diugemi, dijunjung tinggi dan dipraktekan oleh masyarakat.

Begitulah keadaan masyarakat ini pada zaman itu. Orang-orang memberikan keistimewaan berupa penghormatan kepada seseorang karena spiritualitasnya, bukan hartanya.

Baiklah, mari sejenak kita masuk kepada era masuknya agama-agama besar di nusantara.

Pada zaman Hindu, betapa para brahmana sangat dihormati, bahkan oleh sang Raja sekalipun. Mereka menjadi penasihat raja. Sehingga keputusan-keputusan yang diambil oleh sang rajapun tidak terlepas dari faktor spiritual.

Sampai pada zaman kerajaan Islampun, para ulama menjadi tokoh yang tidak bisa dinafikan keberadaannya. Mereka sangat dihormati dan diugemi.

Lalu, apa yang terjadi di zaman kita ini?
Apakah nilai spiritualitas masih digunakan oleh masyarakat/penguasa dalam menghormati/mengagungkan seseorang?

Ah, entahlah.... marilah kita bertanya pada rumput yang terbakar.....


Friday, August 7, 2015

Karena Cinta Memang Begitu


Tadi, sekilas melihat wajahmu di ruangan itu...
Dan matamu yang indah itu,
sedikit beberbenturan dengan hatiku
Bagaimana perasaanmu ketika itu?

Oh ya, kemarinpun aku berusaha mengintip wajahmu

Maafkan aku, karena cinta memang begitu

Thursday, August 6, 2015

Inlander

Sungguh, untuk kesekian kalinya aku merasa dibohongi oleh para petinggiku di Holland sana. Hmm, inlander yang ada di depanku ini adalah bukti nyata kalau petinggi-petinggi di negeriku benar-benar pembual.


"Apa yang Tuan pikirkan? Silahkan Tuan ambil nyawa saya ini. Tapi sekali lagi, jawab dulu pertanyaan saya tadi! Apakah tindakan Tuan di tanah kami ini sudah sesuai dengan ajaran Agama Tuan?"

Untuk kesekian kalinya, perkataan inlander ini benar-benar mencabik-cabik jiwaku.

Dia benar, sebagai penganut Kristen, aku memang tidak diajarkan untuk mengambil milik orang lain dengan semena-mena. Walaupun aku merasa bahwa tanah ini adalah milik kami, namun cara kami untuk mendapatkan tanah ini sungguh tak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada pada ajaran agamaku.

Aku percaya bahwa karena kekuasaan Tuhanlah kami dapat menaklukan negeri ini. Tapi sungguh ironi. Penaklukan yang konon oleh para penguasa di negeriku sana sudah dimulai sejak lama, namun pada hakikatnya penaklukan itu hanyalah pepesan kosong belaka.

Bagaimana dikatakan sudah menaklukan, sedangkan perlawanan demi perlawanan dari inlander seperti orang ini sudah ada sejak dulu kala. Dan sekarang, manusia macam ini masih banyak di tanah perlawanan ini. Bahkan makin banyak sahaja. Hmmm...

Bagaimana mungkin juga dikatakan telah menaklukan ketika hati-hati mereka memberontak di tengah-tengah mulut mereka yang terbungkam. Ah, pembual semua para petinggi di kerajaanku sana!

Dahulu,sebelum aku ditugaskan di tanah ini, mereka bilang kalau inlander-inlander macam itu orang adalah orang-orang bodoh. Nyatanya, ketika aku menginjakkan kakiku di tanah ini, betapa banyak orang-orang yang sudah biasa membaca buku-buku tebal yang aku sendiri tak tahu buku apa waktu itu.

Mereka terbiasa membaca itu di tempat-tempat ibadah mereka. Mereka menyebut tempat itu sebagai langgar. Ada juga yang menyebutnya Mesjid. Biasanya mereka membaca buku tebal itu ketika pagi-pagi sekali dan ketika malam hari. Mereka biasa berkumpul disana. Aku lihat ada salah satu orang yang menurutku sedang memberikan pidato atau apapun itu. Dan mereka yang mendengarnya senantiasa membawa buku tebal. Kadang juga buku tipis.

Bukan di langgar atau mesjid sana aku melihat inlender-inlander itu membaca. Di suatu tempat yang disebut padepokan, aku juga sering melihat anak-anak muda yang biasa disebut dengan cantrik sedang membaca buku tebal. Kusam bukunya. Tapi yang jelas, tak sepenuhnya omongan para penguasa di negeriku sana bisa dipercaya. Mereka para inlander ternyata sudah tak asing lagi dengan tulisan.

Bahkan, mereka memiliki peninggalan-peninggalan budaya yang luar biasa menurutku. Mulai dari alat-alat yang bisa mereka gunakan untuk bercocok tanam, alat-alat dapur dan yang membuatku kagum, ada belasan bangunan yang sudah berusia ribuan tahun masih dengan gagahnya berdiri disini.

Kesimpulanku, mereka para inlander bukanlah bangsa bodoh!

Ah, sungguh sukar dipercaya. Ketika aku bertemu dengan salah satu sahabatku yang berpura-pura menjadi bagian dari mereka, muslim, begitu sebutan mereka, sahabatku yang asli orang Holland ini mengatakan kalau kebiasaan belajar sesungguhnya sudah ada sejak zaman dahulu di tanah ini. Namun para penguasa dan penulis buku di kerajaan kita menutupinya.

"Kau tahu kan kebiasaan para pejabat di kerajaan kita. Mereka inlander! Kita harus memberikan stempel khusus bagi mereka. Bodoh, melarat, bau, terbelakang, dan aneka rupa kejelekan untuk mereka agar kita sebagai penguasa dinilai lebih segalanya di atas mereka!"

"Bagaimana Tuan? Apakah yang Tuan lakukan di negeri ini, merampas tanah kami, merampas makanan-makanan kami, merampas apa saja yang tuan inginkan disini... sudah sesuai dengan ajaran agama yang Tuan anut? Jika Tuan masih belum bisa menjawab pertanyaan saya, cepat tembakan bedil itu ke kepala saya. Mungkin Tuan akan puas setelah membunuh saya. Tapi saya jamin kalau saya lebih puas dibanding Tuan. Lebih baik saya mati dengan pelor di kepala atau di dada saya dari pada saya mati sia-sia di pinggir jalan sana! Hidup mulia menjadi manusia merdeka, atau mati syahid sebagai manusia terhormat adalah kehendak hidup saya!"

Untuk kesekian kalinya aku terhenyak. Tiba-tiba aku sadar kalau aku belum menjawab pertanyaan inlander ini.

Aku hanya bisa menatap wajah lelki muda ini dengan hening. Seketika itu juga, tiba-tiba aku teringat seseorang yang usianya kurang lebih sama dengan anak muda ini. Anakku... Ya, anakku. Sedang apa dia di tanah kelahiranku sana?

Semenjak Bertemu Denganmu

Tahukah kau...

semenjak bertemu denganmu, aku hanya termangu menatap gambar diriku
Tiba-tiba aku merasa ragu untuk kembali menemuimu di balik rerumputan itu...
Satu atau bahkan dua minggu yang lalu, aku merasa rindu...
namun rasaku menenggelamkan semua itu..
haru...

rindu

Tuesday, August 4, 2015

PENGUNGSI (BANJIR DARAH DI KAMPUNG JATI)

Malam benar-benar mencekam di kampung Glagah. Penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dan antek-antek mereka pada malam sebelumnya benar-benar membuat warga kampung trauma. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah mulai mengungsi semenjak pagi tadi. Dengan dikawal beberapa pemuda kampung yang masih hidup, sebagian warga kampung Glagah diungsikan ke tempat yang lebih aman. Kampung Jati tujuan mereka.

Selama ini kampung Jati adalah kampung yang dianggap paling aman. Entah kekuatan apa yang melindungi kampung itu. Yang jelas, setiap laskar pejuang yang masuk ke kampung itu, dapat dipastikan aman dari tentara-tentara Belanda dan antek-anteknya yang memuakkan itu.

"Kang, sebentar lagi tugas kita selesai. Lihatlah bukit itu! Dibalik bukit itulah tujuan perjalanan kita. Kampung penyelamat, kampung Jati."

Suara pemuda yang berparas tampan dengan kumis tipis yang membentang lebar itu sedikit memecahkan suasana. Sementara yang diajak berbicara hanya mengangguk saja. Maklumlah, dia adalah lelaki bisu. Lelaki yang tidak bisa berkata-kata lagi. Lelaki dimana setahun yang lalu ditangkap oleh antek-antek Belanda.

Bengis! Begitu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi lelaki itu ketika tertangkap setahun yang lalu. Yang menyedihkan, orang-orang yang menangkapnya adalah kaum pribumi. Kaum yang seharusnya bersama-sama melawan Belanda, bangsa kejam yang tak berperikemanusiaan. Namun anehnya, justru mereka menjadi anjing-anjing Belanda. Bajingan!

Semenjak penangkapan itu, lelaki paruh baya yang bernama Karsa itu tidak lagi bisa berkata-kata. Lidahnya dikuliti oleh anjing-anjing Belanda yang menangkapnya. Sementara matanya yang satu, dicukil oleh salah satu perwira Belanda yang menginterogasinya. Untunglah, ia bisa melarikan diri. Salah satu pejuang yang dipenjara bersamanya mendadak syahid di tengah malam. Sebelum pejuang itu menemui kesyahidannya, ia memberikan hadiah kepada Karsa berupa jimat. Kantong Macan namanya. Dengan jimat itulah, Karsa berhasil melarikan diri dari bajingan-bajingan itu.

Syahdan, sampailah mereka di kampung Jati. Mendadak, hidung para pemuda dan pengungsi dari kampung Glagah mencium bau aneh. Bau yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Bau yang pernah ada di kampung mereka malam tadi. Darah!


Mayat-mayat bergelimpangan disana sini. Tak ada kobaran api ataupun bekas pertempuran di kampung Jati. Namun penghuninya, ah bagaimana dengan penghuninya? Tak satupun dari mereka yang hidup. Semua mati mengenaskan. Usus-usus mereka keluar. Kepala mereka hancur. Semua mayat sama. Sama seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kang. Apa yang akan kita lakukan disini?"

Mata para pengungsi itu saling bertabrakan. Tak ada isak, tak ada tangis. Hanya sapuan angin yang menghempas hati mereka yang mulai rapuh. Perlahan... tapi pasti. Dan tiba-tiba, suara gagak terdengar dari langit yang mulai menghitam. Kelam.......

KASIH TAK SAMPAI

Masih menatap sedikit guratan awan di langit sana
Sekilas, tampak membentuk seperti gambar wajahmu

ah kamu......
sudah berapa lama singgah di beranda hatiku?

Featured Post

Karakteristik Meeting Room yang Sesuai untuk Meeting

Karakteristik Meeting Room - Menjamurnya bisnis startup mendorong bermunculannya perusahaan pelayanan coworking space dan private space. Be...