Skip to main content

MBAH SURO

Semenjak kematian mbah Suro, dusun Glathak semakin senyap setiap malamnya. Mbah Suro, lelaki paruh baya yang terkenal dengan ketinggian ilmu kanuragannya akhirnya tewas mengenaskan di tepi kali Tajum. Kepalanya sampai sekarang belum ditemukan. Hanya tubuhnya yang tak berkepala saja yang ditemukan di pinggir kali seminggu yang lalu. Yang mengherankan, tak setetespun darah yang mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong itu. Sungguh mencengangkan!

Masih lekat diingatan kang Tarsun ketika seminggu yang lalu ia bersama kang Bodong menemukan jasad mbah Suro. Pagi masih buta ketika kang Tarsun dan kang Bodong berangkat memancing ke kali Tajum. Dua lelaki yang sudah bersahabat semenjak kecil itu memang punya kesamaan dalam banyak hal, termasuk memancing. Tak seperti biasa, pagi itu mereka sengaja memancing di sebuah kedhung yang terkenal dengan keangkerannya. Kedhung yang berada di kali Tajum itu bernama kedhung gathuk. Entah apa yang melatari pemberian nama tersebut. Yang jelas, di bagian atas kedhung itu terdapat pesarean keramat yang biasa digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual oleh warga sekitar.

Ritual yang mereka sebut sebagai ritual kaperlonan. Ritual tersebut biasa dilaksanakan pada setiap pasaran Kemis Manis. Ratusan orang berbondong-bondong membawa tumpeng ke pesarean tersebut. Disana mereka berdo'a meminta rezeki dan keselamatan. Ritual yang telah berumur ratusan tahun tersebut masih berjalan sebagaimana mestinya

"Kang, pagi ini aku merasa bahwa kita akan mendapat ikan banyak di kedhung ini." Kang Tarsun yang usianya setahun lebih muda dari kang Bodong mulai membuka percakapan.

"Aku akui Sun, firasatmu lebih tajam dariku. Tapi kali ini sepertinya aku berbeda pendapat denganmu. Kau tahu kenapa? Karena semalam aku tak diberi jatah oleh isteriku. Hahaha."

"Halah, sampeyan bisa saja. Apa hubungannya dengan bakul manuk? Hahaha.  Sstt.... Kalau tak diberi jatah, pergilah ke dukuh Srinem. Hahaha."

"Aku pernah ke sana Sun. Kebetulan aku punya teman disana. Germo! Hahaha. Kalau kamu mau, nanti aku tak SMS dia. Hahaha."

"Asem!"

"Kau yakin kang mau memancing di kedhung gathuk? Bukankah kedhung itu terlarang untuk warga sini kang?"

"Sun... sun.... Kenapa kau ini? Takut? Lagi pula dua minggu yang lalu aku melihat Tarjono bersama dua kawannya memancing disana."

"Tarjono anaknya mbah Suro? Bukankah dia sedang kuliah di Bandung kang?"

"Iya, Tarjono anaknya mbah Suro. Katanya sih begitu. Tapi dua minggu yang lalu aku melihat dia bersama dua wanita cantik memancing disana. Mereka dapat banyak ikan Sun. Aku melihatnya sendiri. Waktu itu aku sedang di seberang kedhung. Mereka menunjukkan hasil pancingan mereka kepadaku Sun. Sangat banyak. Aku lihat ada putihan, bethik, boso, bahkan ada sidat besar. Sidat terbesar yang pernah aku lihat seumur hidupku Sun."

"Hmmm... Aneh."

"Apa maksudmu Sun?"

"Bukankah dia tak pernah pulang kampung? Tapi entahlah... Mungkin dua minggu yang lalu ia pulang."

"Bagaimana Sun, kau masih takut untuk memancing disana?"

"Setelah mendengar cerita sampeyan, aku jadi tertantang untuk memancing disana Kang..."

"Bagus Sun. Nyalimu memang besar. Sebesar upilku ini. Hahaha."

"Asem!"

Benar juga kata kang Bodong. Baru sekitar tiga menit mereka memancing, sudah tiga ikan besar mereka dapatkan. Menit demi menit berlalu. Tak terasa kumbu mereka sudah penuh terisi ikan. Saking asyiknya mereka memancing, mereka tidak menyadari ada sesuatu yang menyangkut di pohon glagah yang berada di samping mereka. Sampai akhirnya, sesuatu yang ternyata mayat tersebut mengambang di depan mereka berdua.

Kaget, takut, heran bercampur menjadi satu. Sontak mereka saling memandang. Dan tanpa babibu, mereka langsung berlari kencang sambil berteriak sejadi-jadinya.

"Wong kendhang.... wong kendhang!"

Teriakan yang disertai gemetar badan membahana disekitar pinggiran kali Tajum itu. Seketika, beberapa warga yang sedang beraktivitas di sekitar kali itu tergopoh-gopoh mendekati mereka berdua.

"Dimana orang tenggelamnya? Dimana?"

"Di... di.. di... di....."

"Dimana Bodong! Jangan da di da di seperti itu. Cepat, katakan dimana!"

"Di kedhung gathuk itu kang?"

"Dasar wong edan! Berani-beraninya kalian memancing disana!"

Titir pun bersahutan......

Kenthongan tanda kematian itu bersahutan silih berganti di seantero dusun Glathak.

Thong.......... thong........... thong......... thong........ thong................................



"Mana mayatnya mana?" Teriak seorang warga.

"Di kedhung gathuk kang!" Beberapa warga menimpalinya.

"Pak Lurah sudah tahu?"

"Sudah kang. Tadi kang Bodong  ke dalemnya pak lurah. Dia dan kang Tarsun yang pertama kali melihat mayatnya."

Akhirnya, seluruh warga Glathak menuju ke kedhung Gathuk. Kedhung, yang berarti suatu tempat di dalam kali yang kedalamannya melebihi kedalaman beberapa tempat disekitarnya adalah tempat yang sering dihindari oleh warga. Kebanyakan karena takut. Disamping karena kedalamannya, konon di tempat seperti itu bersemayam makhluk-makhlus halus yang menyeramkan. itu berdasar cerita warga di dusun Glathak.

Tak ketinggalan, mbah Rana, salah satu tokoh spiritual di dusun itu berangkat kesana. Sembari membawa kembang kanthil dan mawar, mbah Rana, dengan pakaian kebesarannya, baju beskap dan iket ireng mendatangi lokasi ditemukannya mayat.

Sembari membaca mantra, mbah Rana mulai menebarkan kembang-kembang tersebut disekitar kedhung Gathuk. Aneh tapi nyata, mayat yang tadinya sudah pindah ke tengah kali, tiba-tiba saja, seakan terdorong sesuatu, mayat itu bergerak dengan cepatnya ke pinggiran kedhung. Dengan sigap, beberapa warga yang sudah bersiap-siap mengambil mayat,langsung menceburkan diri ke sungai. Dengan cara dibopong, mayat yang ternyata tanpa kepala tersebut mereka angkat.

Geger. Ya geger. Tangisan, teriakan, dan beraneka rupa ucapan ketakutan keluar dari beberapa warga yang melihat mayat tanpa kepala itu. Dengan penuh konsentrasi, Mbah Rana memandangi seluruh bagian mayat itu.

"Suro... Sungguh malang nasibmu. Kenapa kau harus merelakan jiwamu diambil oleh eyang Tayu?"

Mbah Tinah, isteri mbah Suro mengiyakan, bahwa mayat yang di depannya itu adalah mayat suaminya. Gelang tangan hitam, sama seperti yang dimiliki oleh mbah Rana adalah petunjuknya. Mbah Rana dan mbah Suro adalah satu perguruan. Guru mereka berada di Lereng Sadang. Lereng gunung di dusun Glathak yang tak berani seorangpun menjamahnya. Kecuali Rana muda dan Suro muda. Disitulah semenjak muda, mereka berguru pada Mbah Talun. Seorang pendekar yang masih merupakan keturunan dari leluhur dusun Glathak.

Semenjak penemuan mayat mbah Suro yang tanpa kepala dan tanpa ceceran darah itu diketemukan, malam demi malam di kampung Glathak menjadi sunyi. Apalagi disekitar kali, sama sekali tak ada warga yang berani beraktivitas disana.

Konon, saking sayangnya mbah Suro kepada anaknya, ia bersedia menjadi tumbal atas perbuatan anaknya yang memancing di kedhung Gathuk. Kedhung yang terlarang bagi warga dusun Glathak untuk mencari ikan disana. Tapi yang jelas, sudah hampir dua bulan ini, Tarjono anaknya mbah Suro tidak pernah pulang ke kampung. Termasuk disaat kang Bodong melihatnya memancing di kedhung Gathuk.



Ilustrated by : youtube.com







Popular posts from this blog

Dream of My Heart

Duhai dewiku yang lembut.... Dengarlah sapaan hatiku.... Masuklah engkau ke tungku asmaraku.... kan kubakar engkau dengan senyum cintaku...... ... ahhh..... Matamu yang sayu, bibirmu yang lembut mengguncang rinduku.... Hoooaaammmhhh……. Aku terbangun dari mimpiku.... Banyumas, 22 Agustus 2011 Dacho Darsono

MENANGGAPI MARAKNYA MINI MARKET

Kurang lebih 10 tahun yang lalu, saya bersama salah satu rekan kerja saya yang berprofesi sebagai guru membicarakan perihal peluang usaha yang sebenarnya masih terbentang luas di negeri ini. Berhubung kami tinggal di kampung, maka kamipun membicarakan peluang-peluang usaha yang bisa kami jalankan di kampung. Nah, waktu itu belum banyak mini market-mini market seperti saat ini. Kemudian timbul ide, kenapa tidak mendirikan mini market saja, bahkan kalau bisa super market? Apa bisa? Lha wong namanya juga ide... Maka dalam ide kami itupun tentu saja sangat bisa untuk mendirikan mini market. Pokok permasalahan awalnya adalah pada dana. Dari mana dananya? Nah lho.... Marilah kita berhitung dengan cara yang bodoh saja.... Hehehe... Misalkan dalam satu kampung ada 3.000 WARGA... lalu setiap warga "urunan" 1.000 rupiah saja, sudah berapa dana yang didapat? 3.000 x 1.000 = 3.000.000 TIGA JUTA RUPIAH Itu baru "urunan" seribuan ... Bagaimana jika 10.000? Tingal kalikan saja...

Supplier Marmer Berkualitas di Indonesia

Mempunyai tempat tinggal dan hunian mewah tentu menjadi idaman setiap orang, selain indah untuk dilihat juga terasa nyaman untuk ditinggali. mempercantik sebuah hunian banyak cara dilakukan oleh setiap orang. agar terlihat wah, biasanya digunakan beragam pernak pernik untuk menghias, seperti batu, keramik, bahkan marmer. Bicara mengenai Marmer, di Indonesia ada sebuah perusahaan bernama Fagetti yang merupakan perusahaan supplier marmer berkualitas yang sudah malang melintang diberbagai proyek besar di banyak kota di Indonesia. Supplier Marmer Berkualitas di Indonesia Sekilas Mengenai Fagetti Didirikan oleh Ferdinand Gumanti, satu-satunya orang di Asia yang menerima gelar "Master of Art Stone" oleh Antica Libera Corporazione Dell'Arte Della Pietra yang bergengsi di Italia, komitmen Fagetti adalah untuk memberikan yang terbaik kepada pelanggan, menyediakan peralatan dengan kualitas terbaik , manufaktur, bahan dan layanan batu. Di pabrik dan gudang seluas 23 hektar di Cibit