Sunday, February 8, 2015

TAK ADA LAGI JALAN KECIL DI JALAN ITU

Masih berkisah tentang masa-masa SMA ku dulu. Hmm, entah kenapa beberapa hari ini aku terngiang masa laluku tempo dulu, especially masa-masa sewaktu masih SMA dulu.

Aku beri tahu kepada kalian, dulu di depan SMA ku ada jalan yang begitu rindang. Kenapa rindang? Karena berderet pepohonan. Rapi, dari arah barat menuju ke timur. Jika kalian tinggal di Purwokerto, atau mungkin pernah menyambangi kota itu, aku yakin tak akan asing dengan nama jalan ini. Jalan Dr. Angka.

Ya, di jalan Dr. Angka inilah SMA ku berada. Dulu, dari arah barat ke timur, sampai ke perempatan Rumah Sakit DKT (sekarang sudah ada juga Hotel Aston), jalan itu terbagi menjadi tiga. Satu jalan raya besar, dan dua jalan raya kecil. Seingatku, jalan raya yang berada di tengah, digunakan untuk kendaraan-kendaraan besar dan sepeda motor. Sedangkan jalan yang kecil, jalan yang berada di sisi kanan dan kiri jalan besar digunakan untuk sepeda onthel dan becak.

Jalan-jalan kecil itu dibatasi oleh semacam trotoar, namun ditanami pohon dan aneka tanaman hias. Indah dan teduh. Sebelum aku indekost, aku biasa nungguin angkot I2 ataupun I1 menuju terminal Purwokerto.

Setelah aku indekost, aku terbiasa jalan pagi di jalan kecil itu. Bukan sembarang jalan-jalan, tapi jalan-jalan mencari sarapan. Hehehe.

Namun, seiring dengan pesatnya pembangunan, jalan-jalan yang kecil itu dihilangkan. Alhasil, jalan Dr. Angka semakin lebar. Satu sisi aku senang, mengingat banyaknya volume kendaraan yang semakin meningkat. Dengan dilebarkannya jalan tersebut, secara otomatis memudahkan pengguna jalan raya selama berlalu lintas. Namun, sisi lainnya, sisi yang tak bisa lepas dari sejarah hidupku adalah hilangnya berbagai kenangan indah dan pahit tentunya, di jalan-jalan kecil itu.

Jalan kecil itu adalah saksi bisu ketika aku menunggu angkot. Jalan kecil dengan pohon rindang itu adalah saksi bisu ketika saban hari Selasa dan Kamis aku belatih karate di SMA 4 Purwokerto. Jalan coy! Maklum waktu itu masih kere. Belum punya sepeda yang ada mesinnya. Wehehe. Jalan kecil itu adalah juga saksi bisuku ketika setiap malam tertentu aku bisa menikmati wajahnya yang ayu :)

Dan masih banyak lagi kenangan di sepanjang jalan itu. Termasuk melihat salah satu temanku yang dikejar-kejar wanita penghibur gara-gara temanku itu menghina sang wanita yang berprofesi sebagai penghibur di salah satu tempat hiburan malam yang kebetulan juga berada di jalur jalan itu. Hahaha.

Sudahlah. Sebenarnya aku masih ingin banyak bercerita perihal jalan kecil di jalan raya itu. Namun mataku tampaknya sudah terkontaminasi virus ngantuk. Hehehe.

Oh ya, sekedar pertanyaan kecil sebelum aku menyudahi tulisan ini. Kira-kira nasib mobil Esemka pegimane ye?

Salam MOBNAS ;)

Saturday, February 7, 2015

A LETTER OF LOVE

Kasih.... apa yang kau lakukan malam ini untuk mengenangku? Membaca puisiku? atau hanya sekedar menyebut namaku di hatimu? Jadi ingat ketika masih SMA dulu. Malam menjelang pagi seperti ini, aku masih mengeja sedikit demi sedikit namamu. Sembari mendengarkan surat-surat cinta yang biasa dibacakan oleh penyiar favoritku di radio itu. Radio gaulnya anak muda masa itu. Ah, sungguh indah. Apalagi setelah pembacaan surat cinta itu selesai, biasanya langsung diputarkan lagu yang pas sekali dengan isi surat cinta itu. Oh syahdunya.

Kasih... Jujur, untuk mengingat namamu saja aku susah. Bukan karena aku melupakanmu ataupun membenci setiap pertemuan yang terjadi saat ini, bukan! Bukan itu!

Aku hanya ingin mengenang yang indah-indah saja. Hanya itu sebenarnya. Tapi entah mengapa ketika aku teringat wajahmu, rautan-rautan kepedihan itu muncul begitu saja. Rautan yang masih tertanam hingga sekarang. Kasih.... Itulah sebabnya aku mulai tak berdaya ketika mencoba mengeja namamu, huruf demi huruf.

Kasih.... Apa yang akan kau lakukan ketika kau membaca tulisan sederhanaku ini? Aku berharap, ada sedikit cahaya kebahagiaan walau sesaat. Bukankah kebahagiaan yang kita miliki hanya sesaat?

Selamat malam kasih.... Selamat malam cinta.... Semoga rembulan di awan sana menceritakan kegundahanku pada dirimu.

REAL MADRID, AKHIRNYA MALAM INI KAU DIPECUNDANGI

Malam Minggu ini tak seperti biasanya tivi di rumahku kurang ada peminatnya. Hehehe. Biasanya untuk sekedar nonton acara favoritku, aku harus nunggu para tivi junkies di rumahku ini untuk menyelesaikan hajat mereka. Ya apalagi kalau bukan menunggu acara mereka selesai. Biasanya siih pilem-pilem Indiahe. Wkwkwkwkwk.

Tapi tidak malam ini. Mungkin mereka capek sehingga tivi yang biasanya mereka tonton justru sekarang kebalikannya. Tivi yang pada nonton mereka. Alhasil akupun dengan leluasa pencat-pencet remote buat nyari acara yang menurutku bagus.

Wuih ada bola, sepak bola maksudku. Liga Inggris dan Liga Spanyol. Dengan antusias dan tanpa jampi-jampi mantra segera kupilih untuk menonton pertandingan sepakbola liga Spanyol. Derby Madrid. Real Madrid versus Atletico Madrid.

Dengan sederet pemain bintang yang konon sangat mahal banderol mereka, ternyata sampai tulisan ini diterbitkan, Real Madrid sudah dipecundangi empat kosong (4-0) oleh Atletico. Wualah.........................   Gemana jantung kalian? Ga begitu ambrol kan mendengar kekalahan si Putih? Hehehehe.

Tapi tenang saja, walaupun Real Madrid dipecundangi malam ini, tapi dia masih bertengger pada deretan atas klasemen sementara. Untuk fans Real Madrid, sing sabar ya?  :) Belande masih jauh no! Wkwkwkwk.......

Friday, January 23, 2015

Plisss..... Jangan Kau Nyanyikan Lagi Lagu Nina Bobo Itu



Nina bobo 

Ooh Nina bobo

Kalau tidak bobo digigit nyamuk



===================================================

Siapa sih yang tak kenal lagu tersebut? Jika ada yang belum kenal, silahkan kalian kenalan lebih dahulu. Cocok ya syukur, kalau ndak cocok ya sahabatan saja. Wkwkwkwk. #comblang kaleee :)

Tadinya bingung mau posting apa, eh pas semalam bidadariku nyanyi lagu "Nina Bobo" tiba-tiba munculah sesuatu yang sudah lama tak cari-cari. Ee siapa dia? Ide. Yupz, dari nyanyian tersebut munculah ide untuk postinganku kali ini. Ide ini muncul ketika tiba-tiba saja naluri kabapakanku tidak terima dengan baris terakhir dari lagu tersebut. Wah sok kebapakan banget sih lu son. Son son.. Wehehehe...

Kalau tidak bobo digigit nyamuk. Nah ini dia bagian terakhir dari lagu Nina Bobo itu yang menyentuh relung hatiku yang terdalam. #lebayyyyy

Lebay? Mungkin saja! Tapi coba ulang-ulang bait tersebut sembari bernyanyi. Bukan hanya dimulut sahaja, tapi cobalah untuk diresapi. Mari kita nyanyikan bersama-sama. Satu dua tiga!  Oh ya ingat ya, berulang-ulang!

Masih belum ngeh juga? Baiklah. Kita bikin mudah. Yang punya nama Nina ada ndak? Coba ngacung! Oh ndak ada....

Baiklah, kalau ndak ada, aku tanya lagi. Yang punya adik atau kakak yang bernama Nina ada ndak? Atau yang punya anak yang bernama Nina mungkin. Ada ndak? Hayooo Ngaku!

Baiklah, jika kamu namanya Nina, jika ada saudara kamu atau mungkin buah hati kalian yang bernama Nina, kira-kira kalian sedih ndak dido'akan seperti itu? Seperti apa? Ya itu... Kalau tidak bobo digigit nyamuk. Ah, itu kan lagu mas bukan do'a?.

Okey... okey.... Kalau kamu masih ndak apa-apa alias rapopo dengan nyanyian itu ya ndak papa. It's okey :)  Tapi, pernah ndak dengar seseorang atau pernah baca ungkapan seperti ini : PERKATAAN ADALAH DO'A. Wah....

Kalau pernah maka kamu wajib takut dengan lagu yang didendangkan itu. Itu lagu mas, bukan perkataan. Terserahlah.... Wong aku juga ndak maksa-maksa kamu amat untuk patuh pada tulisanku ini. Wehehehe....

Tapi keinginanku untuk menulis ini, selain ide yang muncul semalam, aku juga ingat salah satu nasihat guruku (Semoga Allah SWT merahmati Beliau). Beliau berpesan kepadaku, "Dalam sehari semalam yang 24 jam itu, ada saat-saat dimana malaikat mengaminkan ucapanmu. Kita tidak tahu kapan tepatnya waktu itu. Oleh karena itu, cobalah untuk selalu berusaha berkata-kata yang baik dalam hidupmu. Sehingga kalimat "amin" yang dilafadzkan oleh malaikat itu senantiasa berupa doa'-do'a kebaikan, bukan sebaliknya."

Hmmm.... Jadi merenung. Seandainya Nina itu adalah anakku dan semalaman ia tidak tidur, maka seluruh badannya akan bentol-bentol digigit nyamuk. Jika nyamuk itu membawa penyakit bagaimana?

Ah, mungkin terlalu lebay. Tapi setidaknya aku punya pengalaman sendiri tentang makna sebuah ucapan. Kisah ini aku dapatkan dari almarhum ayahku terkasih.

Dulu, waktu sepupuku masih tinggal di kampung ia suka sekali mandi di irigasi. Saking seringnya mandi disana, ibunya marah. Bahkan terlontar perkataan seperti ini, "Mandi terus sana di irigasi. Nanti hidupmupun akan berakhir di air." Selang beberapa tahun kemudian, keluarga sepupuku pindah ke luar jawa. Disanalah, tepatnya di suatu pantai di daerah tempat tinggalnya yang baru, sepupuku itu menghembuskan nafas terakhirnya. Ia tewas digulung ombak. Anehnya, waktu itu ia bersama temannya di pantai. Konon ia dan temannya hanya cuci muka, namun hanya ia seorang yang terbawa gelombang ombak di pantai itu :(

Baiklah, mulai sekarang plisss dech kita ganti nyanyian lagu Nina Bobo dengan lagu-lagu lainnya. Syukur sholawat ataupun lagu-lagu keagamaan yang lain. Kenapa? Kasihan si Nina :)

Sajak Siang

Mentari merona dengan angkuhnya
sementara garis-garis cakrawala berjajar rapi membangun anyaman sang siang

Aduhai kenari...
Tolong panggilkan merpati kemari
mendekap bumi
Menghentak ribuan caci 
yang tiada henti

dari balik jeruji hati yang slalu menanti.....
diri.....







Thursday, January 22, 2015

MBAH SURO

Semenjak kematian mbah Suro, dusun Glathak semakin senyap setiap malamnya. Mbah Suro, lelaki paruh baya yang terkenal dengan ketinggian ilmu kanuragannya akhirnya tewas mengenaskan di tepi kali Tajum. Kepalanya sampai sekarang belum ditemukan. Hanya tubuhnya yang tak berkepala saja yang ditemukan di pinggir kali seminggu yang lalu. Yang mengherankan, tak setetespun darah yang mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong itu. Sungguh mencengangkan!

Masih lekat diingatan kang Tarsun ketika seminggu yang lalu ia bersama kang Bodong menemukan jasad mbah Suro. Pagi masih buta ketika kang Tarsun dan kang Bodong berangkat memancing ke kali Tajum. Dua lelaki yang sudah bersahabat semenjak kecil itu memang punya kesamaan dalam banyak hal, termasuk memancing. Tak seperti biasa, pagi itu mereka sengaja memancing di sebuah kedhung yang terkenal dengan keangkerannya. Kedhung yang berada di kali Tajum itu bernama kedhung gathuk. Entah apa yang melatari pemberian nama tersebut. Yang jelas, di bagian atas kedhung itu terdapat pesarean keramat yang biasa digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual oleh warga sekitar.

Ritual yang mereka sebut sebagai ritual kaperlonan. Ritual tersebut biasa dilaksanakan pada setiap pasaran Kemis Manis. Ratusan orang berbondong-bondong membawa tumpeng ke pesarean tersebut. Disana mereka berdo'a meminta rezeki dan keselamatan. Ritual yang telah berumur ratusan tahun tersebut masih berjalan sebagaimana mestinya

"Kang, pagi ini aku merasa bahwa kita akan mendapat ikan banyak di kedhung ini." Kang Tarsun yang usianya setahun lebih muda dari kang Bodong mulai membuka percakapan.

"Aku akui Sun, firasatmu lebih tajam dariku. Tapi kali ini sepertinya aku berbeda pendapat denganmu. Kau tahu kenapa? Karena semalam aku tak diberi jatah oleh isteriku. Hahaha."

"Halah, sampeyan bisa saja. Apa hubungannya dengan bakul manuk? Hahaha.  Sstt.... Kalau tak diberi jatah, pergilah ke dukuh Srinem. Hahaha."

"Aku pernah ke sana Sun. Kebetulan aku punya teman disana. Germo! Hahaha. Kalau kamu mau, nanti aku tak SMS dia. Hahaha."

"Asem!"

"Kau yakin kang mau memancing di kedhung gathuk? Bukankah kedhung itu terlarang untuk warga sini kang?"

"Sun... sun.... Kenapa kau ini? Takut? Lagi pula dua minggu yang lalu aku melihat Tarjono bersama dua kawannya memancing disana."

"Tarjono anaknya mbah Suro? Bukankah dia sedang kuliah di Bandung kang?"

"Iya, Tarjono anaknya mbah Suro. Katanya sih begitu. Tapi dua minggu yang lalu aku melihat dia bersama dua wanita cantik memancing disana. Mereka dapat banyak ikan Sun. Aku melihatnya sendiri. Waktu itu aku sedang di seberang kedhung. Mereka menunjukkan hasil pancingan mereka kepadaku Sun. Sangat banyak. Aku lihat ada putihan, bethik, boso, bahkan ada sidat besar. Sidat terbesar yang pernah aku lihat seumur hidupku Sun."

"Hmmm... Aneh."

"Apa maksudmu Sun?"

"Bukankah dia tak pernah pulang kampung? Tapi entahlah... Mungkin dua minggu yang lalu ia pulang."

"Bagaimana Sun, kau masih takut untuk memancing disana?"

"Setelah mendengar cerita sampeyan, aku jadi tertantang untuk memancing disana Kang..."

"Bagus Sun. Nyalimu memang besar. Sebesar upilku ini. Hahaha."

"Asem!"

Benar juga kata kang Bodong. Baru sekitar tiga menit mereka memancing, sudah tiga ikan besar mereka dapatkan. Menit demi menit berlalu. Tak terasa kumbu mereka sudah penuh terisi ikan. Saking asyiknya mereka memancing, mereka tidak menyadari ada sesuatu yang menyangkut di pohon glagah yang berada di samping mereka. Sampai akhirnya, sesuatu yang ternyata mayat tersebut mengambang di depan mereka berdua.

Kaget, takut, heran bercampur menjadi satu. Sontak mereka saling memandang. Dan tanpa babibu, mereka langsung berlari kencang sambil berteriak sejadi-jadinya.

"Wong kendhang.... wong kendhang!"

Teriakan yang disertai gemetar badan membahana disekitar pinggiran kali Tajum itu. Seketika, beberapa warga yang sedang beraktivitas di sekitar kali itu tergopoh-gopoh mendekati mereka berdua.

"Dimana orang tenggelamnya? Dimana?"

"Di... di.. di... di....."

"Dimana Bodong! Jangan da di da di seperti itu. Cepat, katakan dimana!"

"Di kedhung gathuk itu kang?"

"Dasar wong edan! Berani-beraninya kalian memancing disana!"

Titir pun bersahutan......

Kenthongan tanda kematian itu bersahutan silih berganti di seantero dusun Glathak.

Thong.......... thong........... thong......... thong........ thong................................



"Mana mayatnya mana?" Teriak seorang warga.

"Di kedhung gathuk kang!" Beberapa warga menimpalinya.

"Pak Lurah sudah tahu?"

"Sudah kang. Tadi kang Bodong  ke dalemnya pak lurah. Dia dan kang Tarsun yang pertama kali melihat mayatnya."

Akhirnya, seluruh warga Glathak menuju ke kedhung Gathuk. Kedhung, yang berarti suatu tempat di dalam kali yang kedalamannya melebihi kedalaman beberapa tempat disekitarnya adalah tempat yang sering dihindari oleh warga. Kebanyakan karena takut. Disamping karena kedalamannya, konon di tempat seperti itu bersemayam makhluk-makhlus halus yang menyeramkan. itu berdasar cerita warga di dusun Glathak.

Tak ketinggalan, mbah Rana, salah satu tokoh spiritual di dusun itu berangkat kesana. Sembari membawa kembang kanthil dan mawar, mbah Rana, dengan pakaian kebesarannya, baju beskap dan iket ireng mendatangi lokasi ditemukannya mayat.

Sembari membaca mantra, mbah Rana mulai menebarkan kembang-kembang tersebut disekitar kedhung Gathuk. Aneh tapi nyata, mayat yang tadinya sudah pindah ke tengah kali, tiba-tiba saja, seakan terdorong sesuatu, mayat itu bergerak dengan cepatnya ke pinggiran kedhung. Dengan sigap, beberapa warga yang sudah bersiap-siap mengambil mayat,langsung menceburkan diri ke sungai. Dengan cara dibopong, mayat yang ternyata tanpa kepala tersebut mereka angkat.

Geger. Ya geger. Tangisan, teriakan, dan beraneka rupa ucapan ketakutan keluar dari beberapa warga yang melihat mayat tanpa kepala itu. Dengan penuh konsentrasi, Mbah Rana memandangi seluruh bagian mayat itu.

"Suro... Sungguh malang nasibmu. Kenapa kau harus merelakan jiwamu diambil oleh eyang Tayu?"

Mbah Tinah, isteri mbah Suro mengiyakan, bahwa mayat yang di depannya itu adalah mayat suaminya. Gelang tangan hitam, sama seperti yang dimiliki oleh mbah Rana adalah petunjuknya. Mbah Rana dan mbah Suro adalah satu perguruan. Guru mereka berada di Lereng Sadang. Lereng gunung di dusun Glathak yang tak berani seorangpun menjamahnya. Kecuali Rana muda dan Suro muda. Disitulah semenjak muda, mereka berguru pada Mbah Talun. Seorang pendekar yang masih merupakan keturunan dari leluhur dusun Glathak.

Semenjak penemuan mayat mbah Suro yang tanpa kepala dan tanpa ceceran darah itu diketemukan, malam demi malam di kampung Glathak menjadi sunyi. Apalagi disekitar kali, sama sekali tak ada warga yang berani beraktivitas disana.

Konon, saking sayangnya mbah Suro kepada anaknya, ia bersedia menjadi tumbal atas perbuatan anaknya yang memancing di kedhung Gathuk. Kedhung yang terlarang bagi warga dusun Glathak untuk mencari ikan disana. Tapi yang jelas, sudah hampir dua bulan ini, Tarjono anaknya mbah Suro tidak pernah pulang ke kampung. Termasuk disaat kang Bodong melihatnya memancing di kedhung Gathuk.



Ilustrated by : youtube.com







Wednesday, January 21, 2015

HILANG PERMATAKU.... HILANG PUISIKU.... YANG KUTULIS SEJAK DULU KALA

Jika saya ditanya, kenapa suka menulis di blog maupun sosial media lainnya? Maka salah satu jawabannya adalah karena saya suka nulis. Kok salah satu bro? Iya.... ndak papa kan? kalau salah satu kan masih dapat nilai A. Hehehe.

Ya namanya juga suka, susah kan kalau sudah berbicara masalah suka? Hehehe.

Kesukaan saya pada menulis, setelah saya renungkan dengan bijak di kamar isteri orang lain..... eh isteri sendiri, ternyata sudah dimulai semenjak saya SMP. Ada dua buku tulis saya yang berisi puluhan puisi hasil karya saya sendiri.  Buku tersebut saya simpan rapi. Sampai akhirnya, tanpa sepengetahuan saya, buku tersebut dijual oleh orang tua saya bersama buku-buku saya yang lainnnya. Kesal, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Tapi bagaimana lagi, yang menjual adalah orang tua saya. Dan orang tuaku ndak tahu bahwasanya ada dua buah buku yang berisi puisi-puisi tentang perjalanan hidup dan cintaku... Huhuhuhu....

Mau marahin orang tua? Ndak mungkin kan.... Pol-polannya ya hanya sesal dan kesedihan yang melanda jiwaku. Bayangkan saja, buku tersebut adalah diaryku dalam bentuk puisi. Diary adalah sejarah. Di dalamnya terdapat beragam kisah manis dan pahit dalam kehidupanku. Namun apa hendak dikata, nasi sudah berubah telanjur mahal, kumpulan kisah hidup dan cintaku hilang bersama sang penjual rombengan.

Dan kejadian itu terulang kembali manakala aku lulus SMA. Buku berisi kumpulan puisikupun hilang untuk yang kesekian kali.....

Untunglah saat ini ada banyak media, termasuk blog seperti ini :). Dengan media-media tersebut, catatan demi catatan tersimpan dengan rapi. Dan hobby menuliskupun tercurah melalui media-media itu.

Jika kalian bertanya tulisan seperti apa yang saya sukai? Maka jawabanku adalah tulisan yang sesuai dengan kata hati. #suka-suka gue lah yaw :)



ilustrated by : nowaterriver.com

Featured Post

Karakteristik Meeting Room yang Sesuai untuk Meeting

Karakteristik Meeting Room - Menjamurnya bisnis startup mendorong bermunculannya perusahaan pelayanan coworking space dan private space. Be...