Pagi itu, seperti biasa sebelum berangkat kerja, saya memanjakan si Jengki ( Yamaha RS 100 tercinta :) ) dengan sentuhan-sentuhan ( ehemmm) lap kecil biar makin
kinclong. Ya maklumlah, sebagai orang
gantheng maka saya diharuskan menjaga kondisi tunggangan saya agar enak dipandang mata. Kata orang
londo sana, eye cathing, yang artinya "nangkep mata." :P
Sentuhan demi sentuhan berjalan dengan lancar. Eits lagi asyik-asyiknya ngusap si Jengki, tetangga sebelah rumah datang menghampiri saya. Pak Sapun nama orang itu. Orang-orang di kampung ini biasa memanggilnya dengan nama Kang Sapun. Saya taksir (cewek kaleee ) usia kang Sapun dikisaran 60 an. Orangnya ramah,
gemrapyak, dan apa adanya. Rumahnya tepat di sebelah utara rumahku, sama-sama menghadap ke arah matahari terbenam :). Saya biasa memanggil
Ramane kepada Kang Sapun. Ya maklumlah, usia kami kan lumayan jauh berbeda. Saya kan masih
swit sewen tin. Wkwkwkwk.
"Wis meling mas!" (sudah bersih mengkilap mas,red). Begitu kang Sapun mengawali percakapan kami di pagi yang cerah itu. " Ya jelaslah
Ramane." (Ya jelas lah pak,red). Sahut saya sembari mengelus-elus si Jengki dengan lap yang mulai mengotor. "Tidak kesawah ?" Gantian saya yang bertanya.
" Ora mas." (tidak mas,red). "Kenapa ?" Tanya saya heran. Biasanya jam segini kang Sapun sudah pergi ke sawah ataupun ke ladang. "Sedih mas kalau ke sawah". Wah, jadi tambah heran deh saya. Sambil melongo kaya
kodok ijo, saya lantas bertanya lagi bak wartawan yang belum dapat berita karena sudah dead line alias mati garis :P
" Padi di sawah sedang kena hama mas. Hama wereng. Entah panen atau tidak. Karena itulah, saya jadi sedih kalau ke sawah."
"Oooohhhh." Melongo lagi deh saya, untung
ndak ada
laler (lalat,red). "Wah, bisa ndak panen dong
ramane?" Dag dig dug juga melempar pertanyaan seperti itu.
" Tapi padi di ladang saya bagus mas. Jadi saya masih bisa panen padi mas."
=====================================
Sulit rasanya membayangkan bagaimana kehidupan para petani di kampung ini. Saya pikir bukan hanya di kampung ini saja. Bayangkan saja, mulai dari membeli bibit padi, merawat, dan memanennya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Parahnya lagi, jika musim memupuk tiba, itu pupuk pada jalan-jalan entah kemana. Konon bisa ngilang kaya Mak Lampir. Wuzzzzttt. Sangat menyedihkan dan
menggelakan sekali. Kakek saya pernah nyari sampai ke Cilacap. Dan itupun belum tentu dapat. Sudah jauh-jauh dari Banyumas, eh di Cilacap juga lagi
ndak ada pupuk. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, tangganya dari besi, trus tanahnya ada kotoran ayam (TA satu) alias
TA1. Wkwkwkwk. Belepot kan ? Itu belum cukup untuk menggambarkan betapa SUSAHNYA jadi petani. Ketika padi sudah mulai ditanam dan mulai
mrocot (Kalian tanya sendiri dech pada KARTIKA pesbukers, mrocot itu artinya apa. wkwkwkk) para petani harus berhadapan lagi dengan beragam penyakit tanaman dan hewan yang menyerang padi atawa hama. Bulan ini, di kampung isteri saya, ya tempat tinggal saya juga saat ini, hama wereng sudah mulai menyerang areal persawahan. Tak tanggung-tanggung, hampir semua areal persawahan yang luasnya berhektar-hektar menjadi sasaran wereng.
Hama ini bukan kali pertamanya menyerang kampung ini. Sudah sering, dan hasilnyapun luar biasa. Bayangkan saja, ada areal seluas
satu bau hanya menghasilkan padi 6
kandhi. Hebat tuh wereng !!!
BTW alias bai de we, saya tidak akan membahas pertanian ataupun perwerengan terlalu dalam. Karena saya bukan ahlinya, lagi pula terlalu mencakitkan, kata anak-anak alay :P.
Kembali ke cerita kang Sapun dan saya, jujur ketika kang Sapun bilang ,
" Tapi padi di ladang saya bagus mas. Jadi saya masih bisa panen padi mas." ada hal menarik yang bisa saya pelajari. Mari kita bicarakan lebih dalam. Hehehehe. Kalimat,
Tapi padi di ladang saya bagus mas. Jadi saya masih bisa panen padi mas, merupakan kalimat "syukur". Nah lo. Oke, begini maksud saya, andaikata padi di ladang kang Sapun juga terkena hama, bagaimana kira-kira reaksi kang Sapun ? Pasti Anda bisa menebaknya kan ? ;)
Sayapun kembali merenung, bagaimana ya nasib para petani yang hanya memiliki sawah ? Yang pasti, mereka tidak akan mengucapkan kalimat kang Sapun tadi (
" Tapi padi di ladang saya bagus mas. Jadi saya masih bisa panen padi mas.") karena mereka tidak memiliki ladang. Kang Sapun terlihat masih tenang karena ia memiliki ladang dengan padi yang bagus. Dengan kata lain, ada harapan lain yang notabene sedang dinantikan oleh kang Sapun yaitu padi ladang alias
pari gaga. Lalu sekali lagi, bagaimana ya dengan nasib petani lain yang tidak memiliki ladang/gaga ? Hmmm... Mereka punya Tuhan. Saya harap, prinsip itu digigit kuat-kuat oleh petani yang sedang ditimpa musibah wereng tersebut. Ya, mereka punya Tuhan. Bukankah tidak ada kekhawatiran bagi mereka yang punya Tuhan ? Bukankah Tuhan sudah menjamin hidup dan kehidupan bagi hamba-Nya ? Tidak mudah memang. Tapi inilah yang menjadi akar kegelisahan saya atas berbagai hal yang terjadi di negeri ini.
Akar ? ya, akar kegelisahan saya. Jika orang-orang di negeri ini berprinsip bahwa "SAYA PUNYA TUHAN", saya yakin dengan seyakin yakinnya kalau negeri ini akan menjadi negeri yang makmur dan dirahmati oleh Tuhan. Saya tidak mengatakan kalau bangsa ini adalah bangsa ATHEIS, bukan sama sekali bukan ! Saya hanya bertanya-tanya, jika bangsa ini mengaku sebagai bangsa yang punya Tuhan, mengapa masih banyak "kelaliman" di negeri ini ? Korupsi, kolusi, nepotisme, pembunuhan, pemerkosaan, menghilangkan hak, semena-mena, dan......lain.........lainnnnn................... Masih terjadi di negeri ini.
Sudahkah kita BERTUHAN ?
#renungan sore