Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Friday, October 24, 2014

BANGKU DI POJOK TAMAN ITU (sebuah essay cinta)

Aku tidak tahu bagaimana rasanya mencicipi cintamu. Yang kutahu, bahwasanya aku mencintaimu. Itu saja ! Seperti aroma dahlia di waktu itu. Aku hanya terpaku menatap keindahannya dari bangku di pojok taman itu. Wanginya semerbak, menyeruak masuk ke relung jiwaku. Ah, mencintaimu memang melelahkan. Tapi adakah sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang bernama mencintaimu ?

BANGKU


Seperti biasanya, pagi ini aku menikmati keindahan wajahmu. Masih sama, dari pojok taman itu. Taman yang dihiasi beraneka rupa bunga dan tanaman hijau didalamnya. Ada gemericik air dari air terjun kecil buatan sang maestro. Masih didalamnya, beraneka bebatuan berwarna berjajar rapi bertautan. Upz, sesekali kupu-kupu yang nakal mencubit sedikit lentiknya mata sang bunga. Ah, taman yang manis. Dan selalu dari sanalah aku memandangi keelokan wajahmu.

Di suatu malam, aku dapati ceceran kertas jingga. Oh, ada tulisanmu disana. Kembali aku merindukanmu. Sedangkan sisa-sisa cintaku mulai habis terkikis duri-duri sadis. Untuk apa aku membaca tulisanmu ?

Pagi berikutnya, kulihat ada serombongan burung pipit berjejalan di atap rumahmu. Masih sama, aku tak bisa melihat wajahmu disana. Padahal pipit itu bernyanyi perihal rindu dan keabadian. Apakah takdirku memang harus melihatmu dari bangku di pojok taman itu ? Entahlah.

Ah, mencintaimu memang menyakitkan. Tapi sekali lagi aku bertanya, "Adakah sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang bernama mencintaimu ?"



Ilustrated by : 123rf.com



Friday, September 26, 2014

JENDELA RUMAH SANG USTADZ

03.30 WIB

Gelap masih membungkus dinginnya pagi. Sementara embun masih bercengkrama dalam pelukan cemara jingga. Semak–semak pun mulai mengibaskan kaki–kakinya yang ranum diantara butiran tanah yang teronggok merekah. Cahaya lampu mulai terlihat dari beberapa rumah mungil yang tersusun rapi. Berderet sepanjang jalan kecil. Rumah–rumah cerah di tengah keangkuhan dunia yang megah.

Syahdan, di salah satu rumah mungil.“ Mas, sudah pagi. Sudah hampir jam 4.” Suara perempuan terdengar merdu dari arah bibir pintu kamar  rumah itu.

Brak !

“Astaghfirullah !”

“Rizki !”

Haaaa.... mamaaa !

Mamaaaaaaaaaa !

“ Ada apa de ?”

“I..ini mas, Rizki jatuh.”

“Apa?”



06.45 WIB

Pagi yang cerah, namun tak secerah wajah lelaki ini. Perkenalkan, namanya Sastro. Sastro Juwono lengkapnya. Badannya kecil dengan otot yang cukup kekar. Kulitnya sawo matang, bahkan cenderung hitam. Rambutnya hitam pekat, lurus namun agak kaku. Dengan potongan rambut ala penyanyi gaek, Koes Hendratmo. Matanya tajam, siap menusuk siapa saja yang berhadapan dengannya. Pertanda bahwa ia adalah lelaki tegas dan pemberani. Di lengan kanannya melingkar sebuah jam tangan. Jam tangan asmer alias asal merk. Jam tangan yang bagi sebagian orang mungkin dianggap nyleneh. Bukan karena jam tanganya, namun karena letaknya yang berada di lengan kanan. Bukankah sebagian besar dari kita lebih sering mengenakan jam tangan di lengan kiri ?

“Pagi pak Sastro. Assalaamu ‘alaikum.”

“ E e e e... Pagi Juga bu Dian. Wa’alaikumussalaam warahmatullah.”

“Ihhh pak Sastro, pagi–pagi kok be te banget kaya gitu ?  lagi ngalamun yah pak ? Jangan ngalamunin orang lain. Ga boleh ! heee.”

Sastro benar–benar gugup kali ini. Ia tak dapat menyembunyikan rasa gugupnya. Walaupun ia berusaha keras untuk menghilangkannya, mimik wajahnya tak bisa membohongi perempuan cantik berjilbab biru yang ada dihadapannya itu.

“Kenapa Pak,  kok kikuk seperti itu ?. Malu ya sama saya?.  Yaa udah tak kasih senyum saja ya pak,b iar bapak tidak kikuk seperti itu. Heee.”

Ah, senyum itu. Lagi–lagi senyum itu. Mengapa selalu senyum itu. Ah, mengapa ? Ahhh  senyum itu ?

Duh Gusti, berikanlah hamba kesabaran dan kekuatan.



13.00 WIB

“Pulang pak ?”

“Iya pak Anto, kebetulan hari ini saya tidak mengawasi anak–anak yang sedang ujian pak. Mau langsung pulang. Tadi pagi Rizki, anak saya terjatuh dari tempat tidur. Dari jam pertama mengajar sampai sekarang saya tidak tenang pak. Teringat Rizki.” “Ohh maaf pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau putra bapak jatuh dari tempat tidur. Bagaimana kondisinya ? Tidak apa–apa kan pak ?”

Hmmmmm. Sastro menghelas nafas panjang. Seandainya ada air dingin di depannya, mungkin ia akan buru – buru memuntahkan ke kepalanya yang serasa panas itu.



16.30 WIB

“Bagaimana de keadaan Rizki ? sudah membaik kan de ?”

“Kata bu bidan sih tidak apa – apa mas. Cuman shock saja katanya.”

“Oh, syukurlah. Mas khawatir dengan keadaan....”

Belum selesai merampungkan kalimatnya, tiba–tiba sakunya bergetar. Ada lantunan sholawat badar terdengar dari saku celananya.

“ Ada SMS itu mas, dilihat dong mas, siapa tahu dari pak kyai atau kepala sekolah.”

Buru – buru ia merogoh saku celananya...

“ Dari siapa mas ?”

“Oh, dari provider de, biasa promo. He he he .”

“Oooohh.”

“Ade ke kamar dulu ya mas. Bentar lagi kayaknya Rizki bangun. Tidur dari jam satu tadi.”

“Ohh ya de. Mas mau ke tempat kang Wiro. Mau minta tolong. Mumpung masih sore. Nanti kan malam Jum’at, seperti biasa kang Wiro akan mas mintai pertolongan buat woro–woro pengajian di musholla kita nanti.”

“Ohh ya mas, hampir lupa. Ini tadi ibu memberikan ini untuk acara nanti malam. katanya sih mau buat sodakoh”. “Gini aja de, gunakan saja uang itu untuk membeli snack. terserah ade. Ade kan jagonya nyari hal- hal seperti itu.” Sahut Sastro sambil mencubit pipi isterinya.

‘Iiiihhh apaan si mas. Cepetan sana ke rumahn kang Wiro. Nanti keburu Maghrib.”

“Okey honey, I love you. Mmmuuuachhh”.

“Ihhhh genit !”



Sembari keluar rumah, Sastro mengeluarkan Hand phone nya.

“ Mas, gemana kondisi Rizki ? tidak apa-apa kan?. Mas jangan sedih, semua itu kan cobaan dari Allah. Mas kan sering bertaushiah seperti itu di masjidku. Sabar ya mas !.”

Deg !. Jantung Sastro berdegup kencang. Ia benar–benar lemas kali ini. SMS itu, senyum itu. Ah, kenapa.  Kenapa harus dia ?.  Dia. Dan dia ?.

“Maafkan aku isteriku. Terpaksa aku berbohong padamu. Aku tidak ingin engkau berprasangka buruk kepadaku.” Batin Sastro lirih dalam hati. Ternyata SMS tadi bukan dari provider. Tapi dari perempuan berjilbab biru yang senantiasa memberikan senyumnya hampir setiap pagi di tempat kerjanya. Perempuan yang senantiasa dengan setia memberikan komentar–komentar lucu di setiap postingan facebooknya. Perempuan yang senantiasa menyapa melalui messengernya ketika dia sedang on line. Perempuan yang senantiasa memberikan SMS nya disela kesibukannya memberikan ilmu kepada murid–muridnya.

Wussssssss. Angin sore menghempas jiwa Sastro ke pelataran dewangga. Jauh, mendekap mimpi.



17.30 WIB

Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam sore. Ada yang mengganjal dalam benak Sastro. Kali ini bukan mengenai perempuan berjilbab itu. Tapi entah kenapa tiba–tiba ia merasakan kecapekan yang luar biasa. Badannya serasa dihimpit batu, kepalanya pusing, dan rasa kantuk mulai menjajah tubuhnya secara perlahan. Pelan tapi pasti. Mungkin  karena hari ini ia mengajar penuh di sekolah. Sehabis itu, ia mengajar anak–anak di TPA dan membantu Kang Wiro menyebarkan separuh undangan pengajian untuk nanti malam. Ditambah beban berat akibat anaknya yang terjatuh dari ranjang tadi pagi.

Akhirnya ia pun tertidur pulas di ruang tengah. Kebetulan ada dipan kecil yang biasa digunakan untuk bersantai menonton televisi bersama anak dan isterinya.

Sastro benar–benar capek. Ia tertidur lelap dalam dekapan senja yang paling senja. Entah ia bermimpi apa. Yang jelas, raut wajahnya terlihat sumringah, bahagia dalam tidurnya.



18.15 WIB

Gedubrak !

Bruk !!!

Mamaaaaa !

“Masya Allah, siapa yang meletakkan Rizki dibawah kakiku ?. Bagaimana sih kamu ini de, seharusnya ade tahu kalau mas ini sedang capek de. Capek !.Makanya aku tertidur. Malah kamu taruh Rizki tidur dibawah kakiku. Lihat, lihat ini ! Lihat kan akibatnya !”

Isterinya hanya terdiam. Sekilas, terlihat butiran air jernih mengalir di pipinya yang putih. Sementara tangannya mendekap erat si kecil Rizki, si kecil yang baru berusia satu tahun. Si kecil yang baru saja terjatuh karena tersenggol kaki suaminya. Si Kecil yang untuk kedua kalinya harus terlentang di lantai menahan sakit. Oh Gusti.

“Assalaamu ‘alaikum pak, Assalaamu ‘alaikum pak !. Nuwun sewu pak,  jamaah Maghrib dan pengajian rutin sudah menunggu di musholla.... Panjenengan sedang ditenggo di musholla.”



Pettt !

Tiba–tiba saja mati lampu.

“ Bagaimana pak Ustadz, mati lampu ini ???”

Hmm, Ustadz Sastro menghela nafas panjang.







Banyumas, 2012.

























Thursday, September 25, 2014

MASIH ADA CINTA DI LANGIT SANA

Ruang ICU

“Kak, aku mencintai suamiku.”

Suara itu masih terdengar jelas di telingaku. Suara itu lembut, selembut wajah wanita yang mengucapkannya padaku. Tapi matanya tak bisa membohongi kegundahan hatinya. Ada luka yang sedang menari–nari di jiwanya. Aku melihatnya.Ya aku melihatnya dibalik rona matanya yang menitikkan air bening yang sampai ke pipinya itu.

****************************

10 Tahun yang lalu

“Satu dua satu dua satu dua, berhenti grak !”

“Haduh, maaf !”

“Heh kamu ! Hallo ! Kupingnya masih terpasang kan ?”

“I..iii ya kak saya.”

“Ambil posisi push up ! Cepat !.

“Siap kak. Kerjakan !”

“Ada apa nih Ron ?”

“Ini Zal, tadi kan aba–abanya berhenti, eh ni anak malah nylonong aja seenaknya. Tak kasih hadiah tuh. Biar nyaho sekalian. Ngapain lihat – lihat. push up 10 kali lagi !”

“i..ii ya kak !”

“Wah, bisa langsing tuh anak. Sudah Ron jangan banyak–banyak. Kasihan juga.”

“Wah, kalau sang ketua OSIS yang nyuruh, sebagai anak buah yang baik, pasti aku nurut nih. hehee. Eh, Kamu gak naksir kan Zal sama tuh cewek. Soalnya aku perhatikan, cantik juga tuh cewek. Kaya Kate Winslet. Hihiiii.”

“Apaan sih Ron. Aku  gak suka ajah ada acara ploncoan kayak gini. Aku rasa gak akan bikin adik–adik kelas ini simpati sama kita. Malahan bisa jadi dendam. Lagi pula kan Pak Harjo waktu rapat OSIS kemaren kan bilang kalau jangan mengedepankan hukuman fisik. Hukuman itu memang perlu untuk kedisiplinan, tapi jangan mengutamakan hukuman seperti ini. Kita ini kan pelajar. Kaum intelektual katanya. Jadi harus mengedepankan empati, bukan emosi.”

“Waahh panjang betul ceramahmu Zal, kaya pak Kamto.”

“Siapa tuh pak Kamto ?”

“Orang gila di kompleks rumahku. Ha ha.”

“Sialan kamu Ron !.”





Tumben nih kantin sekolah sepi. Biasanya jam segini anak–anak lagi pada ngumpul sambil menikmati bakso sama sebotol coca cola. Ugh, sialan. Kenapa tadi Aku ga ngajak si Roni. Sialan juga tuh anak, sudah dua hari ini ngerjain Aku. Kemarin kirim salam buat Hera, katanya dari Aku. Padahal dia sendiri yang naksir Hera. Dasar aneh. Hari ini, sepatu Aku diumpetin di lacinya Raymond. Untung dia tidak marah. Soalnya sudah hampir tiga bulan sepatuku tidak kena air alias tidak dicuci. Hiks.

“Assalaamu ‘alaikum.”

“Wa ‘alaikumussalaam.”

Upz, ada bidadari berjilbab di depanku. Rasanya seperti....

“Kok ngalamun kak, perkenalkan, nama saya Azizah. Azizah Kania Dewi.”

Langsung saja Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya, tentu saja dengan maksud memperkenalkan diri.

“Eits, maaf ya kak, kita bukan muhrim. Jadi tangan Azizah begini ajah yah kak?”

Ah muhrim. Apa pula itu?. Terlihat kedua tangannya dalam posisi seperti menyembah, tapi di depan dadanya.

“Azizah cuman mau ngucapin terima kasih sama kakak. Soalnya waktu kegiatan sore kemarin kakak nulungin Azizah.”

“Maksudnya ???”

“Azizah jadi gak push up banyak. Hi hi.”

Baru Aku ingat, nih cewek yang disuruh push up sama Roni.

“Ya sama – sama. Aku cuman tidak suka ada acara ploncoan kayak gitu.”

“Oh ya kak, sebagai tanda terima kasih, Azizah kasih sesuatu buat kakak Faizal. Terima ya kak. Ini hasil karya Azizah lho.”

“Apaan nih ?”

“Boneka lucu dari kain perca.”

“Hah, boneka ?” Bengong dah Aku.

“Sekali lagi, makasih ya kak.” Langsung dia pergi tanpa basa basi.

Waduh aku belum memperkenalkan namaku. “Namaku Faizal ! Panggil saja kak Izal.” Teriakku keras.

“Saya tahu kak.” Sahutnya lebih keras sambil melemparkan senyum kepadaku.

Selepas peristiwa itu hubungan kami tambah akrab saja. Apalagi ternyata rumah Azizah satu kompleks denganku. Ternyata dia anak pindahan dari Sumatera. Hampir tiap hari naik angkot bersama. Satu hal yang membuat aku kagum dengan gadis berjilbab ini adalah sopan santunnya. Setiap bertemu siapa saja di sekolah. Apakah itu guru, teman, penjaga sekolah, bahkan mang Ucup yang punya kantin, ia selalu mengucapkan salam. Ucapannya halus, tersirat ketulusan dan kebahagiaan dalam salamnya. Hanya saja ada ciri khas yang menjadi pergunjingan teman – temannya di SMA ini, yaitu ia tidak mau bersalaman dengan teman cowoknya. Mencium tanganpun ia lakukan hanya kepada Ibu–ibu guru. Kepada Bapak Guru ? No !.

Teman – temannya menganggap kalau ia adalah cewek aneh dan terlalu fanatik terhadap agamanya. Entahlah, mungkin ini sekolah umum, bukan madrasah. Kata Diaz, teman cewek Azizah, Azizah itu dari SD sampai SMP sekolahnya di Pesantren. Pesantren modern katanya. Modern ? ahhh menurut Aku dia tidak modern. Tapi kolot.

“Hei Zal, gemana nih kegiatan Rohisnya ?”

“Emang kenapa non ? nyantai aja lagi. Ingat kan iklan ini, B\bikin hidup lebih hidup.”

“Jangan bercanda kamu Zal, Ini serius!. Soalnya rencana pengajian untuk  rohis  nanti sore terancam gagal !”

“Apa ? Kenapa Lel ?”

Leli nama cewek ini. Dia sekretaris  di OSIS. Wajahnya imut, badannya proporsional kayak Tamara Geraldine, tapi galaknya minta ampun. Lebih galak dari mpok Nori !.

“Gini Zal, Akhmad sakit mendadak.”

“Gila tuh anak ! Kenapa harus sakit mendadak sih. Harusnya kalau mau sakit bilang kek dari kemaren. Sialan !”

“Hallo, emangnya sakitnya kayak Jailangkung apa. Musti diundang segala. Gemana nih Zal ?”

“Mana Roni ???”

“Tuh!”

“Hei Ron, sini !” Kampret tuh anak, ternyata lagi nggodain Rina. Cewek paling aduhai di sekolah ini.

“Ada apa Bos ?”

“ Si Akhmad sakit, padahal nanti sore kan ada kegiatan pengajian rohis di sekolah ini. Gemana nih ? Dia kan koordinator sekaligus pengisi tausiahnya. Gemana nih Ron ?”

Hmm. kami sama–sama terdiam.

“Begini.” Suara kami hampir berbarengan.

“Gemana Ron ?”

“Kamu dulu dech Zal !”

“Okey.  Bagaimana kalau koordinatornya langsung Aku handle,  trus yang ngisi kultum. Dia !”

Tangan ini langsung refleks pada cewek berjilbab yang lagi membaca buku di bawah pohon akasia di depan kelas paling timur sana.

“Dia ?”

“Iya Lel. Kenapa ?”

“Cewek aneh itu ?” Celoteh Leli.

“Iya. Azizah !”

“Gila kamu Zal. Kamu mau dia ngisi pengajian di sekolah ini? Gak salah kamu Zal ?”

“Aku rasa tidak.”

“Kamu yakin Zal ?”

Si Leli tampaknya masih penasaran dengan keputusanku.

“Kenapa tidak ? “ jawabku enteng.

Kamipun saling berpandangan.

“ Begini, selama ini kan kita menganggap dia itu sebagai cewek aneh, naahh, nanti sore kita adain sesi tanya jawab  biar anak–anak bertanya tentang berbagai hal yang menjadi rumor dia  selama ini. Ya, rumor tentang keanehan yang dipraktekkanya selama ini. Bagaimana?”

“Kamu mau menjatuhkan dia Zal ? Kamu mau mempermalukan dia Zal ?”

No ! Bukan begitu Ron. Bukankah dengan cara seperti itu kita bisa mengetahui tentang segala sesuatu yang nyleneh – nyleneh itu? Hal-hal yang dipraktekannya selama ini. Seperti tidak mau berjabat tangan dengan anak lelaki dan Bapak-bapak guru kita ?”

Hmmm. Kali ini mereka diam.

“Rapat selesai !”

Okey Bos. Setuju !”

“Kamu Lel ??”

“Gemana ya ? Setuju saja deh bos.”

Sorenya terjadilah apa yang kami rencanakan. Setelah bersusah payah membujuk Azizah, akhirnya goal juga bujukanku. Azizah akan mengisi pengajian di sore ini. Hanya saja ia mempunyai syarat, waktu pengajian dia meminta para cewek di barisan depan, sedangkan anak–anak cowok dibelakang dengan ditutup menggunakan tirai. Untung musholla sekolahan mendukung hal tersebut. Kalau tidak, bisa berabe nih acara. Tapi Aku masih bisa melihat wajahnya, ya, Aku kan kordinatornya, jadi terserah aku mau berada dimana. Aku pilih diluar, disamping jendela musholla. Jadi dengan leluasa Aku bisa memandang wajahnya.

Pengajian Rohis  berjalan sukses. Kami masih terdiam memikirkan untaian kalimat-kalimat yang terucap dari bibir Azizah itu, dan tentunya sederetan jawaban dari pertanyaan anak – anak bahkan guru–guru yang bertanya seputar pengetahun Agama Islam dan cara bergaulnya selama ini. Ahh, aku merasa bodoh dibuatnya. Jujur baru kali ini aku mendapat siraman rohani yang menurutku bagus banget buat kehidupanku saat ini. Ditambah keteduhan dan ketenangannya dalam membawakan materi dan menjawab berbagai pertanyaan yang menyeruak. Dia benar-benar memukulku kali ini.

Ahhh, malam selarut ini Aku masih teringat wajahnya. Oh my God. Ada apa ini ?.

Semenjak pengajian  itu, aku dan Roni jadi sering pulang lebih sore. Untuk apa ? untuk sholat Ashar terlebih dahulu. Kalau dhuhur memang sering kami lakukan. Maklumlah Aku ketua OSIS masa waktu dhuhur aku tidak ke musholla sekolah. Malu aku. Kalau Ashar aku jarang. Apalagi si Roni, tidak pernah katanya. Untung bulan ini mulai les jadi pulangnya sore, jam setengah empat sore tepatnya. Jadi cukup mendukung. Dan entah kenapa pula tiba- tiba hidupku merasa tentram. Dan ketika melihat Azizah, entah kenapa hati ini bergetar keras. Ahh Azizah, kau merubah hidupku.

**********************

7 tahun yang lalu

“Kamu hebat Faizal. Cumlaude, selamat yah !”.

“Terima kasih Lel. Kamu juga hebat. Kerja atau merit nih Lel ?”

“Aku mau ke London Zal. Bokapku ternyata sudah ngedaftarin aku buat ngambil S2 disana. Pisah dong Zal. “

Sambil Aku kerdipkan mata, aku bilang kepadanya, “ Life must go on.”

Leli pun tersenyum. Yiahhh, sedari TK kami selalu bersama. SD, SMP, SMA, bahkan kuliahpun kami di Fakultas dan Universitas yang sama. Hari ini adalah wisuda kami, pertemuan yang mungkin juga menjadi pertemuan terakhir kami. Soalnya keluarga Leli juga pindah ke Kalimantan. Ayahnya pensiun dan ingin hidup damai di kampung halamannya di Martapura sana. Ahhh, selamat yah Lel, Maafin Aku selama ini, Aku sering nyusahin kamu. Ternyata menangis juga batinku kehilangan sahabat terbaik, sahabat seperjuangan, sahabat dalam suka dan duka. Ah, selamat jalan ya Lel. Batinku sedih.

**********************

Ruang ICU

“Dok bagaimana keadaan suami saya ? Apakah dia baik–baik saja. Bagaimana luka di dadanya ?”

“Sabar  bu, kami sudah mengusahakan yang terbaik buat suami ibu. Berdo’a ya bu. Saya yakin Allah akan memberikan yang terbaik untuk ustadz Faizal.”

Badan ini serasa dingin. Kepala ini sakit luar biasa seperti ada ribuan paku yang menancap di otakku. Oh, benar – benar sakit. Tubuhku mulai menggigil, mataku perlahan tapi pasti mulai tak melihat apa–apa lagi. Yang kulihat hanyalah kegelapan, nafasku mulai sesak, dadaku begitu perih. Perih yang tak terhingga. Tanganku sudah tidak bisa kugerakkan. Ya Allah. Ampuni hamba. Engkaulah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ampuni hamba Yaa Robb.

“Abah, maafin umi.” Suara itu, ya suara itu adalah suara Leli isteriku. Terdengar suaranya lirih dan kurasakan ada air menetes di keningku. Ah, ini air mata isteriku. Maafkan aku isteriku. Maafkan aku. Aku bukan suami yang baik untuk mu. Aku memang suamimu, tapi wajah Azizah senantiasa menyelimuti hari-hariku. Maafkan aku isteriku. Maafkan aku. Tak kuasa air matakupun menetes dipipiku.

“Selamat sore bu. Saya Bripda Anggoro. Kami sudah menangkap Inspektur Roni. Dia yang menembak Ustadz Faizal. Saya mohon ibu bersabar dan bersedia ke kantor kami saat ini juga. Kata pelaku, dia mengenal ibu dan juga Ustadz Faizal.”

Ah, maafkan aku juga Ron. Aku tidak melakukan apa–apa kepada isterimu. Aku tidak melakukan apa–apa terhadap Azizah. Dia mempunyai penyakit kanker otak, dia menyembunyikan penyakitnya selama ini. Sebagaimana aku menyembunyikan perasaan cintaku kepadanya sampai saat ini, sampai detik ini.

Kami tidak sengaja bertemu di lobby hotel itu, dia kaget begitu juga aku. Tiba–tiba dia pingsan, lalu kugotong dia ke kamarku, itu kulakukan karena aku panik. Ketika mulai siuman ia berkata lirih ditelingaku kalau  dia terkena kanker otak. Dan dia bercerita kepadaku bahwa suaminya adalah kau Ron. Dia mengatakan kalau dia sangat mencintaimu, walau aku tak percaya itu. Ah, tak seharusnya aku melakukan itu, tak sepantasnya aku membawa isterimu masuk ke kamarku. Karena ada embel–embel ustadz di depan namaku saat ini. Tapi aku panik Ron.

Tapi kau juga ceroboh, sama seperti waktu SMA dulu.. Kenapa kau langsung menembak dadaku ini?  Kenapa kau tidak bertanya terlebih dahulu kepadaku perihal apa yang telah terjadi diantara kami. Ah, kau benar – benar bodoh Ron !.

Asyhadu ala ilaa ha illallah. Wa asyhadu ana Muhammadurrasulullah.....

“Maafkan kami bu, kami sudah berusaha. Ternyata Allah sangat mencintai Ustadz Faizal. Beliau telah dipanggil kepangkuan cinta-Nya bu. Sabar ya bu.”

“Abaah !”

Saturday, September 6, 2014

Telaga Cinta

Ketika orang-orang bertanya tentang aku, katakan saja pada mereka bahwa aku hanyalah lelaki. Ya, lelaki ! Lelaki yang masih memburu sisa-sisa senja dalam beberapa kosa kata. Sekali lagi, aku hanyalah lelaki.

Suatu pagi aku mendapati serombongan burung pritganthil muda yang sedang bernyanyi tentang angkuhnya cinta. Lalu aku bertanya kepadanya, "Sudahkah kalian mampir disebuah telaga yang bernama cinta?'

Lantas, salah satu dari pritganthil muda itu menjawab, "Aku pernah terbang di atasnya, bahkan aku juga pernah berenang didalamnya. Bukan hanya sekali. Namun berkali-kali aku terbang dan berenang di telaga itu, berkali-kali pula aku tenggelam di dalamnya."

Lantas,sembari mengepakkan sayapnya yang ranum,  ia pun kembali menyambung perkataannya.

"Sungguh aku tidak tahu wahai tuan. Kenapa aku selalu saja tenggelam didasarnya. Sedangkan aku adalah pritganthil muda yang paling perkasa diantara mereka. Sungguh, telaga yang bernama cinta itu menyimpan berjuta misteri !"

" Hahahahaha.... Bagaimana bisa aku mempercayaimu wahai pritganthil muda ? Mana mungkin engkau berenang di dalamnya ? Kalau terbang di atasnya, bisa saja aku mempercayainya. Tapi berenang didalamnya ? Ahh, kau sungguh menjemukan !"

"Wahai lelaki muda. Begitulah telaga  cinta. Ia akan menyihir siapa saja yang tertarik kepadanya. Dan begitulah ia. Ia mampu mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Mengubah kemustahilan menjadi kenyataan. Bukankah kau pernah mendengar cerita tentang Jonggrang ? Atau cerita tentang taj Mahal ?

Ah kau....  jangan pernah bertanya tentang cinta kepada makhluk yang tak pernah merasakannya."



Tuesday, December 17, 2013

Pliss lah.... Pergi dari Hatiku (Essay Cinta)

Dewa Amor, mungkin kau kejam kali ini. Namun aku tidak bisa begitu saja mengumpatmu dari balik jendela hati ini. Bukankah aku yang menarik panahmu ? Hmmm, cinta memang sulit diterka, tapi ia datang bukan tanpa alasan (termangu).

Sekali lagi, aku tidak menggerutu atau menjadikan Panah Sang Amor sebagai kambing hitamku, aku hanya bercerita disini, bercerita tentang sepotong cinta yang terlalu kuat untuk dilunakkan. Sepotong cinta yang seharusnya telah berlalu, namun belum berkesudahan. Menyebalkan memang. Tapi ... bukankah musafir harus berjalan menuju tujuannya ?

Masih dalam potongan-potongan kisah itu. Ketika kapal sudah tertambat di dermaga, maka tak mungkin ia akan pergi kemana. Namun, bukankah tsunami bisa saja merubah takdir tambatan itu ? Hmmm.... sekali lagi, menyebalkan ! Khawatir ? tidak ! sekali lagi kukatakan, Tidak ! Aku tidak perlu khawatir akan "kecurangan-kecurangan" cinta. Karena jiwaku sudah terpaut dalam... dalam... sangat dalam... Disana, dirongga hati sang Kamaratihku. Jadi aku tak risau. Lalu untuk apa essay cintaku ini ? Sudahlah, marilah kita lanjutkan. Biarlah pertanyaan demi pertanyaan menjadi bagian jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan itu sendiri (mikir).

Today

Ini hari yang gila, mungkin sangat gila. Bagaimana tidak, engkau masih tersenyum di depanku (menyebalkan). Sudah kubilang, jangan mencoba tersenyum di depan wajah imutku (tendang)! Eh, masih saja engkau tersenyum. Awas ya, panah Amor itu beracun. Lain kali kulumasi dengan detergent yang sudah expired (lagi ngomong apa sihhh). Begitulah hari-hariku, bergelut dengan paras indah yang menyebalkan itu (gigit jari). Ugh !

Yesterday

Sama kayak today, tapi aku berhasil melarikan diri (yeahhh). Eksyen coy :)

Tomorrow

Mau pakai kacamata kuda, biar ga ngelihat kusirnya... Wahaha.

Cinta memang aneh. Tapi tak seaneh wajahmu yang sering kali kulihat nongkrong di panci dapurku (khayalan). Wesssstraaahhh....

#Sekadar coretan hati...

Met aktivitas semuanya ;)

Thursday, February 21, 2013

Catatan Lorong Hati ( Teruntuk Anak Indonesia )

Lelaki tua itu masih memegangi lembaran kertas yang ada ditangannya. Sungguh, ia pantas dipanggil "kakek", daripada dipanggil "bapak". Perlahan.... keluarlah butiran - butiran air bening dari matanya.... Tangannya yang keriput masih saja bergetar memegang lembaran kertas itu.... yaaa....  kertas.... yang disitu tercantum  angka yang menunjukkan nama seorang perempuan...

Perempuan yang tak asing baginya, perempuan yang senantiasa menghiburnya dikala ia sedih... Perempuan yang senantiasa memberikan senyuman dikala ia susah....

Masih segar betul dalam ingatanya, ketika musim hujan kemarin... Waktu itu hujan turun dengan derasnya. Badannya yang renta mulai merasakan rasa aneh, rasa yang sudah biasa ia rasakan.... Aneh ?? Yaa karena ia menganggap aneh pada dirinya sendiri... " Kenapa orang setua aku bisa terjatuh sakit, padahal aku harus menanggung isteriku, anak-anakku... Bukankah Tuhan tahu itu ??? Tuhan benar-benar aneh.. Kenapa ia memberikanku sakit ???"

Terkadang ia merasa Tuhan tidak adi, namun ia bukanlah lelaki seperti itu... Ia adalah lelaki yang tahu betul tentang hakikat kehambaan... Sedangkan keluhannya, adalah bukti bahwa ia adalah manusia sebenarnya....

Angin berdesir sangat kuat... Tubuhnya mulai menggigil... Namun ia berusaha menutupi itu ditengah kesunyian jiwanya.... Sang isteri yang sedari tadi berdiri didepan pintu mulai beranjak dari tempatnya. " Ndhuk...ndhuk... semoga Gusti Pengeran menjagamu dari hujan angin yang besar ini.".

Belum lama sang isteri menutup pintu, terdengar suara ketukan pintu disertai salam yang cukup parau....

"Akhirnya kau pulang juga ndhuk..... "


Sembari batuk, si anak mencium tangan ibunya yang keriput itu... ia pun beranjak menemui sang ayah yang sedari tadi melihatnya dengan penuh kerinduan.....

Dengan manja dan keceriaan, si anak memeluk ayahnya..... " Bapak, Gusti Allah selalu menyayangi kita... jangan pernah takut kehilangan apapun dan siapapun." Lantas dengan penuh kasih sayang, sang bapak mencium kening anaknya.... Badannya yang menggigil perlahan sirna diterjang aroma kebahagiaan tatkala mendengar puterinya bercerita tentang cita-citanya..................

 "Pak, gemana... Yanti diterima kan di sekolah ini ???" Teriakan yang tiba - tiba  itu membangunkan kesadaran si lelaki tua.

Diberikannya lembaran kertas yang sedari tadi dipegangnya, lembaran kertas yang mulai basah terkena siraman air matanya... Lembaran kertas yang membuatnya bahagia sekaligus berduka.... Bagaimana ia tidak bahagia ??? puterinya diterima... dan yang membuatnya berduka adalah lembaran berikutnya.... Lembaran yang berisi sederetan biaya....

 "Pak..... Bapak jangan berduka ya ??? Yanti akan bekerja... Bukankah Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja ???".

Tangispun pecah.... Menyambar siapa saja yang berada disekitarnya....

Perlahan, mentari yang sedari tadi tersenyum, mulai meredupkan sunggingnya.... Namun bibir senja memapah kedua manusia itu pulang kerumah.... mencoba meraih hari yang kian terbebani....

Featured Post

Karakteristik Meeting Room yang Sesuai untuk Meeting

Karakteristik Meeting Room - Menjamurnya bisnis startup mendorong bermunculannya perusahaan pelayanan coworking space dan private space. Be...