Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Friday, November 20, 2015

Night Blue

“Mas, tolong jemput ade. Sepeda motor ade dipakai oleh ibu sore tadi. Jadinya ade tak bisa pulang. Kan sudah tidak ada angkutan umum kalau malam-malam seperti ini  mas. Tolong banget ya mas!”

Begitu membaca pesan singkat di handphone yang sudah mulai buram ini, aku langsung memacu motor matic kesayanganku menuju kota kecil itu. Kota dimana terdapat ribuan cerita tentang aku dan kehidupanku. Ah, namanya juga kota kecil. Jika jarum jam sudah menunjuk ke angka lima, maka mustahil ada angkutan umum yang masih berlalu lalang. Hanya menghambur-hamburkan bensin saja. Di sore seperti itu, mana ada para calon penumpang. Sekali lagi, maklumlah kota kecil.

Selang setengah jam akhirnya aku sampai di tempat kerja wanita pujaanku itu. Kekasih? Belum! Kakak adik? Apalagi itu! Entahlah, aku bingung untuk menamai apa perihal hubungan kami berdua ini.

“Sudah makan mas?”

“Wah, kebetulan belum de! Ade sudah makan?”

Hmm, wanita manis dihadapanku ini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Baiklah, kita makan yuk de di warung lesehan itu saja!”

Secara otomatis tanganku langsung mengarah pada salah satu warung ayam bakar yang memang sudah biasa kami singgahi. Tanpa panjang kata apalagi panjang ingatan, kami langsung makan di warung itu. Rasa dingin yang mulai bertamu dibadanku seakan hilang dimangsa kehangatan makan malam.

“De, hari sudah mulai malam. Kita harus bergegas.” Begitu selorohku ketika nasi yang ada dihadapanku mulai menghilang. Hehe.

“Iya mas. Perasaanku kok jadi tidak enak yah!”

“Sudahlah de, santai saja. Mungkin karena ade kelelahan karena kerja sampai larut malam seperti ini!”

Brakkk!

“Apa-apaan kau! Pulang selarut ini bersama dia!”



Belum sempat aku berkata-kata, pintu rumah wanita yang kujemput ini hampir saja mengenai wajahku. Pintu yang terbuat dari, ah entahlah kayu apa, ditutup dengan sangat keras oleh ibunya. Persis di depan wajahku. Sekilas, kulihat ada butiran air bening yang mengalir dipipi gadis cantik yang baru saja kujemput ini.

Tidurlah Hen!

Sehabis bertemu denganmu, entah kenapa aku selalu lupa bahwa aku pernah berjumpa denganmu. Aneh? Tidak juga! Karena itu hampir terjadi berulang-ulang.

Sama halnya dengan yang terjadi pada sore tadi, "Kak, tadi malam aku lupa mengembalikan bunga ini padamu!"

Tadi malam? Apa yang terjadi semalam? Bukankah aku tak kemana-mana? Tapi kenapa tadi sore Rara berkata seolah-olah semalam dia berjumpa denganku. Bawa bunga segala. Aku benar-benar heran dibuatnya.

"Hen, apa yang sedang kau pikirkan? Hari sudah menjelang pagi. Tapi kenapa engkau masih belum tidur juga?"

"Mak, apakah semalam aku bepergian keluar rumah? Perasaan aku hanya berbaring disini semalaman. Tolong mak jawab pertanyaanku ini! Aku benar-benar bingung dengan keadaanku saat ini."

"Kau tidak kemana-mana Hen! Hanya pikiranmu saja yang kemana-mana. Sudahlah, tidur sana! Besok, pagi-pagi sekali kita harus ke rumah sakit lagi. Istirahat sana!"

Ke rumah sakit lagi? Ah, apa-apaan pula ini. Menurutku keadaanku baik-baik saja. Seluruh tubuhku terasa sehat. Bahkan tadi pagi ketika hari masih gelap, aku bisa berlari jauh. Jauh sekali. Benar-benar jauh. Padahal aku sama sekali tak mengenakan selembar pakaianpun.

Rumah sakit? Sakit apa aku ini?

Tuesday, November 10, 2015

KALI KELUK

Geger kembali terjadi di kampung Sangga. Kali ini, Tosin, berandal kampung Sangga yang terkenal memiliki ajian welut putih ditemukan tewas bersimbah darah. Mayatnya ditemukan di pinggiran kali Keluk. Mengenaskan! Mungkin begitu kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaan mayat si Tosin.


Bagaimana tidak mengenaskan, kepalanya hancur. Seluruh isi kepala si Tosin keluar berhamburan. Lehernya nyaris putus. Lengan sebelah kirinya hilang. Dan bukan itu saja, alat kelamin si Tosin hilang entah kemana.

Seluruh warga yang penasaran berhamburan menuju tepi kali Keluk. Kali yang membelah desa Sangga menjadi dua dukuh itu memang selalu menyimpan misteri. Dan pagi ini, ditepian kali itu, si Tosin ditemukan tewas secara mengenaskan.

"Kang, apa benar dia si Tosin?"

"Iya Ja. Dia memang  Tosin. Gelang yang ia pakai dan tentu saja tatto berbentuk huruf jawa itu tak bisa membohongi kita!"

"Hmmm.... Kira-kira, siapa yang mebunuhnya kang? Atau jangan-jangan...."

"Entahlah Ja... Aku juga bingung. Tosin memang berandal. Dia maling yang selalu lolos dalam setiap buruan. Tapi kali ini... ah, sungguh aneh. Siapa yang bisa membunuhnya? Atau jangan-jangan dia mati sendiri? Hmmmm..."

Suasana semakin ramai saja. Tiba-tiba, dari seberang kali Keluk terlihat lelaki renta menggunakan jubah hitam pekat mendekati mereka. Bukan jubah atau wajah sang lelaki tua itu yang membikin kecut warga yang sedang menyaksikan mayat si Tosin, namun, cara menyeberangi kali itu yang membikin kecut para warga kampung Sangga. Lelaki itu menaiki perahu putih. Perahu yang berjalan sendiri, tanpa bantuan apapun.

Perlahan tapi pasti, lelaki renta itu mulai mendekati kerumunan warga yang sedang mengerubuti mayat si Tosin. Tak satupun kalimat yang keluar dari mulut mereka. Suasana mendadak hening. Dan ditengah keheningan itulah, sang lelaki renta yang menaiki kapal putih itu mengangkat mayat si Tosin. Dimasukkannya mayat si Tosin kedalam perahu putihnya.

Setelah tubuh hancur si Tosin masuk ke perahu, tiba-tiba saja langit di atas desa Sangga berubah hitam. Angin berhembus kencang. Kabut putih mulai menyelimuti sekitar kali Keluk. Bersamaan itu pula, sang lelaki renta bersama perahunya hilang begitu saja. Bak ditelan bumi.

Seluruh warga hanya terperangah. Kali Keluk, kali dengan air yang jernih itu kini berubah merah. Ya, airnya merah. Dan baunya anyir. Anyir seperti darah si Tosin.

"Pergilah kalian! Pergi!"

Suara menggelegar yang muncul dengan tiba-tiba itu menyadarkan warga yang sedari tadi hanya diam. Sontak, mereka lari berhamburan meninggalkan kali Keluk. Kali dengan sejuta misteri. Sampai kini.

Friday, September 4, 2015

MEMBUNUHMU

Gadis berkacamata itu masih saja menyunggingkan senyumnya. Ah, jilbabnya yang anggun mulai mengusik ketentraman hatiku.

Masih seperti kemarin... Aku hanya bisa menatapmu dari balik jeruji kamar ini.

"Siapakah engkau?"

Begitu gumamku dalam hati. Namun apalah artinya pertanyaan tanpa sebuah jawaban. Bukankah itu hanya menyakitkanku saja. Ya, sakit. Sama seperti takdirku yang meringkuk di kamar biadab ini.

"Saudara Bondan, ada yang ingin menemuimu. Silahkan bersiap-bersiap menemui tamumu itu. Oh ya, wajahnya boleh juga!" Sipir bermata sipit ini sepertinya mengejekku. Ah, sudahlah! Tak ada gunanya pula bermusuhan dengan anjing seperti dia.

"Assalaamu alaikum...."

Deg! Ternyata tamuku kali ini adalah gadis itu. Gadis berkaca mata dengan kerudung lebar yang aku curi wajahnya dari jeruji besi itu kemarin pagi.

"Maaf pak. Sedari kemarin saya mencari Bapak. Ketika kemarin saya hendak menemui Bapak, tiba-tiba isteri Bapak menyuruh saya untuk menemuinya terlebih dahulu di kantin penjara ini. Dan Beliau meminta agar hari ini saja saya menemui Anda. Oh ya pak, saya mohon maaf karena belum memperkenalkan diri saya. Nama saya Fatimah. Saya pengacara isteri Bapak. Saya hanya ingin memberitahu Bapak, isteri Bapak, Ibu Nelly, bermaksud mengajukan gugatan cerai pada Bapak. Besok adalah hari dimana Bapak dibebaskan. Saya harap Bapak bisa bekerja sama dengan baik untuk mengurus perihal perceraian Anda dengan ibu Nelly."

Damn! Gadis muda ini ternyata pengacara isteriku. Besok aku bebas dari penjara sialan ini. Tunggu saja Anthony, aku akan membunuhmu.

Kau tidak hanya menyebabkan aku masuk ke dalam penjara laknat ini. Tapi kau juga telah meninggalkan luka kelelakianku. Perselingkuhanmu dengan isteriku sungguh menyakitkanku. Kini, aku diambang perceraian. Dan membunuhmu adalah satu-satunya cara untuk membahagiakan hidupku. Bersiaplah Anthony!

LOVE STORY

30 Agustus 2015

Mencintaimu adalah kutukan terindah dalam lembaran hidupku. Mencintaimu, hanyalah mengenang luka-luka lama. Luka yang masih berjejer rapi dalam dinding kamarku.

Nun jauh disana, dilubuk hatiku yang terdalam, engkau hanyalah samudera perih yang memuakkan. Sungguh!

Apatah ada lagi sesuatu yang lebih memuakkan selain mencintaimu? Tak ada!

Sekarang..... Ketika jampi-jampi cinta itu mulai sirna, ternyata berkebalikan dengan apa yang aku harapkan.

Kau.... benar-benar mencintaiku.

Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan ranum kebencian masih bersemayam mesra dalam ingatanku.





2006

"Maaf mas.... Aku hanya menganggapmu sebagai kakak... Maafkan aku...."



Thursday, August 6, 2015

Inlander

Sungguh, untuk kesekian kalinya aku merasa dibohongi oleh para petinggiku di Holland sana. Hmm, inlander yang ada di depanku ini adalah bukti nyata kalau petinggi-petinggi di negeriku benar-benar pembual.


"Apa yang Tuan pikirkan? Silahkan Tuan ambil nyawa saya ini. Tapi sekali lagi, jawab dulu pertanyaan saya tadi! Apakah tindakan Tuan di tanah kami ini sudah sesuai dengan ajaran Agama Tuan?"

Untuk kesekian kalinya, perkataan inlander ini benar-benar mencabik-cabik jiwaku.

Dia benar, sebagai penganut Kristen, aku memang tidak diajarkan untuk mengambil milik orang lain dengan semena-mena. Walaupun aku merasa bahwa tanah ini adalah milik kami, namun cara kami untuk mendapatkan tanah ini sungguh tak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada pada ajaran agamaku.

Aku percaya bahwa karena kekuasaan Tuhanlah kami dapat menaklukan negeri ini. Tapi sungguh ironi. Penaklukan yang konon oleh para penguasa di negeriku sana sudah dimulai sejak lama, namun pada hakikatnya penaklukan itu hanyalah pepesan kosong belaka.

Bagaimana dikatakan sudah menaklukan, sedangkan perlawanan demi perlawanan dari inlander seperti orang ini sudah ada sejak dulu kala. Dan sekarang, manusia macam ini masih banyak di tanah perlawanan ini. Bahkan makin banyak sahaja. Hmmm...

Bagaimana mungkin juga dikatakan telah menaklukan ketika hati-hati mereka memberontak di tengah-tengah mulut mereka yang terbungkam. Ah, pembual semua para petinggi di kerajaanku sana!

Dahulu,sebelum aku ditugaskan di tanah ini, mereka bilang kalau inlander-inlander macam itu orang adalah orang-orang bodoh. Nyatanya, ketika aku menginjakkan kakiku di tanah ini, betapa banyak orang-orang yang sudah biasa membaca buku-buku tebal yang aku sendiri tak tahu buku apa waktu itu.

Mereka terbiasa membaca itu di tempat-tempat ibadah mereka. Mereka menyebut tempat itu sebagai langgar. Ada juga yang menyebutnya Mesjid. Biasanya mereka membaca buku tebal itu ketika pagi-pagi sekali dan ketika malam hari. Mereka biasa berkumpul disana. Aku lihat ada salah satu orang yang menurutku sedang memberikan pidato atau apapun itu. Dan mereka yang mendengarnya senantiasa membawa buku tebal. Kadang juga buku tipis.

Bukan di langgar atau mesjid sana aku melihat inlender-inlander itu membaca. Di suatu tempat yang disebut padepokan, aku juga sering melihat anak-anak muda yang biasa disebut dengan cantrik sedang membaca buku tebal. Kusam bukunya. Tapi yang jelas, tak sepenuhnya omongan para penguasa di negeriku sana bisa dipercaya. Mereka para inlander ternyata sudah tak asing lagi dengan tulisan.

Bahkan, mereka memiliki peninggalan-peninggalan budaya yang luar biasa menurutku. Mulai dari alat-alat yang bisa mereka gunakan untuk bercocok tanam, alat-alat dapur dan yang membuatku kagum, ada belasan bangunan yang sudah berusia ribuan tahun masih dengan gagahnya berdiri disini.

Kesimpulanku, mereka para inlander bukanlah bangsa bodoh!

Ah, sungguh sukar dipercaya. Ketika aku bertemu dengan salah satu sahabatku yang berpura-pura menjadi bagian dari mereka, muslim, begitu sebutan mereka, sahabatku yang asli orang Holland ini mengatakan kalau kebiasaan belajar sesungguhnya sudah ada sejak zaman dahulu di tanah ini. Namun para penguasa dan penulis buku di kerajaan kita menutupinya.

"Kau tahu kan kebiasaan para pejabat di kerajaan kita. Mereka inlander! Kita harus memberikan stempel khusus bagi mereka. Bodoh, melarat, bau, terbelakang, dan aneka rupa kejelekan untuk mereka agar kita sebagai penguasa dinilai lebih segalanya di atas mereka!"

"Bagaimana Tuan? Apakah yang Tuan lakukan di negeri ini, merampas tanah kami, merampas makanan-makanan kami, merampas apa saja yang tuan inginkan disini... sudah sesuai dengan ajaran agama yang Tuan anut? Jika Tuan masih belum bisa menjawab pertanyaan saya, cepat tembakan bedil itu ke kepala saya. Mungkin Tuan akan puas setelah membunuh saya. Tapi saya jamin kalau saya lebih puas dibanding Tuan. Lebih baik saya mati dengan pelor di kepala atau di dada saya dari pada saya mati sia-sia di pinggir jalan sana! Hidup mulia menjadi manusia merdeka, atau mati syahid sebagai manusia terhormat adalah kehendak hidup saya!"

Untuk kesekian kalinya aku terhenyak. Tiba-tiba aku sadar kalau aku belum menjawab pertanyaan inlander ini.

Aku hanya bisa menatap wajah lelki muda ini dengan hening. Seketika itu juga, tiba-tiba aku teringat seseorang yang usianya kurang lebih sama dengan anak muda ini. Anakku... Ya, anakku. Sedang apa dia di tanah kelahiranku sana?

Tuesday, August 4, 2015

PENGUNGSI (BANJIR DARAH DI KAMPUNG JATI)

Malam benar-benar mencekam di kampung Glagah. Penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dan antek-antek mereka pada malam sebelumnya benar-benar membuat warga kampung trauma. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah mulai mengungsi semenjak pagi tadi. Dengan dikawal beberapa pemuda kampung yang masih hidup, sebagian warga kampung Glagah diungsikan ke tempat yang lebih aman. Kampung Jati tujuan mereka.

Selama ini kampung Jati adalah kampung yang dianggap paling aman. Entah kekuatan apa yang melindungi kampung itu. Yang jelas, setiap laskar pejuang yang masuk ke kampung itu, dapat dipastikan aman dari tentara-tentara Belanda dan antek-anteknya yang memuakkan itu.

"Kang, sebentar lagi tugas kita selesai. Lihatlah bukit itu! Dibalik bukit itulah tujuan perjalanan kita. Kampung penyelamat, kampung Jati."

Suara pemuda yang berparas tampan dengan kumis tipis yang membentang lebar itu sedikit memecahkan suasana. Sementara yang diajak berbicara hanya mengangguk saja. Maklumlah, dia adalah lelaki bisu. Lelaki yang tidak bisa berkata-kata lagi. Lelaki dimana setahun yang lalu ditangkap oleh antek-antek Belanda.

Bengis! Begitu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi lelaki itu ketika tertangkap setahun yang lalu. Yang menyedihkan, orang-orang yang menangkapnya adalah kaum pribumi. Kaum yang seharusnya bersama-sama melawan Belanda, bangsa kejam yang tak berperikemanusiaan. Namun anehnya, justru mereka menjadi anjing-anjing Belanda. Bajingan!

Semenjak penangkapan itu, lelaki paruh baya yang bernama Karsa itu tidak lagi bisa berkata-kata. Lidahnya dikuliti oleh anjing-anjing Belanda yang menangkapnya. Sementara matanya yang satu, dicukil oleh salah satu perwira Belanda yang menginterogasinya. Untunglah, ia bisa melarikan diri. Salah satu pejuang yang dipenjara bersamanya mendadak syahid di tengah malam. Sebelum pejuang itu menemui kesyahidannya, ia memberikan hadiah kepada Karsa berupa jimat. Kantong Macan namanya. Dengan jimat itulah, Karsa berhasil melarikan diri dari bajingan-bajingan itu.

Syahdan, sampailah mereka di kampung Jati. Mendadak, hidung para pemuda dan pengungsi dari kampung Glagah mencium bau aneh. Bau yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Bau yang pernah ada di kampung mereka malam tadi. Darah!


Mayat-mayat bergelimpangan disana sini. Tak ada kobaran api ataupun bekas pertempuran di kampung Jati. Namun penghuninya, ah bagaimana dengan penghuninya? Tak satupun dari mereka yang hidup. Semua mati mengenaskan. Usus-usus mereka keluar. Kepala mereka hancur. Semua mayat sama. Sama seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kang. Apa yang akan kita lakukan disini?"

Mata para pengungsi itu saling bertabrakan. Tak ada isak, tak ada tangis. Hanya sapuan angin yang menghempas hati mereka yang mulai rapuh. Perlahan... tapi pasti. Dan tiba-tiba, suara gagak terdengar dari langit yang mulai menghitam. Kelam.......

Monday, June 29, 2015

PERCAYALAH, TUHAN ITU TIDAK ADA


Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan wajah itu. Wajah yang selama ini tertutupi hanya dengan sebuah nama. Manusia Biasa. Begitu nama akun blog miliknya yang dengan setia hampir setiap postingannya aku baca.

Sungguh tak ada sesuatu yang istimewa yang muncul dari dirinya. Begitu kesan pertama kali ketika aku bertatap muka dengannya. Hanya satu ciri yang menonjol, badannya besar. Ah, untuk ukuran orang asia, dia terlalu besar. Rambutnya yang gondrong dan mulai terlihat memutih semakin menambah kekhasan dirinya.

"Bagaimana anak muda, apakah engkau masih percaya dengan adanya Tuhan?"

Suaranya menggelegar. Mungkin dari sudut gedung ini yang letaknya sekitar dua puluh meteran dari keberadaan kami, suara itu masih bisa terdengar dengan jelas.

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lantas ia pun kembali berbicara dengan kata-kata yang sudah sangat familiar di mataku. Ya, dimataku. Karena kata-kata yang ia ucapkan itu senantiasa muncul di home blog miliknya. Ha ha ha.

"Percayalah, Tuhan itu tidak ada."

Kemudian ia melanjutkan kembali kata-katanya. "Ia hanyalah ilusi yang hadir pada otak dan perasaanmu saja. Percayalah!"

Sebatang rokok mild ini belum habis ketika ia pergi begitu saja. Tanpa kata-kata selanjutnya, tanpa basa basi berikutnya.

Ah, mungkin Tuhan memang tak ada. Atau..... jika ada yang menganggap-Nya ada, mungkin ia hanya sedang bergurau saja. Bukankah masih banyak kezaliman yang dikerjakan oleh manusia-manusia yang konon beragama?

Ahai tiba-tiba hape ku bergetar Ada SMS rupa-rupanya. JIKA TUHAN ITU ADA, MAKA AKUPUN PERCAYA KALAU SETAN JUGA ADA.

Thursday, June 18, 2015

NGUPIL

Kau tahu, betapa kebesaran itu terkadang menjadikan seseorang berlaku sombong. Mulai dari kebesaran baju, sampai kebesaran celana.... Mbuehehe...

Mungkin mereka perlu belajar pada jari kelingking. Lihatlah, walaupun ibu jari lebih besar, tapi si kelingking paling sering digunakan oleh kamu... iya kamuuuu  (#terdodit dodit...) untuk melakukan suatu aktivitas besar dan maha penting dalam hidup. Apa itu?

NGUPIL!!!

Bagaimana rasanya jika kamu menggunakan ibu jari untuk mengupil? Nggak asyik kan? Mbuehehehe........

Begitulah hidup. Besar maupun kecil sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi, ketika engkau merasa besar atau sedang besar, janganlah kau jadikan kebesaranmu itu menjadi kecongkakan, apalagi kesombongan.... Stay cool man :)

Happy Ramadhan.

Tuesday, May 26, 2015

PADA SUATU MALAM DI HUTAN SUATU PULAU

"Syarif, terserah kau sekarang! Yang jelas, aku bukanlah lelaki pengecut yang menembak seseorang tanpa senjata. Aku adalah lelaki yang memiliki harga diri. Dan perjuangankupun ini adalah dalam rangka menegakkan harga diri kami selaku muslim yang selama ini teraniaya. Syarif, aku memang saudaramu. Dan tidak sepantasnyalah kita saling berhadapan seperti ini. Tapi inilah jalan hidupku. Aku tak mungkin mengikutimu, pun sebaliknya. Syarif, aku berharap, diakhirat nanti kita berbagi kebahagiaan bersama. Sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Masih ingatkah kau Syarif?"

Aku hanya terpaku mendengar perkataan sahabat baikku itu. Dua puluh tahun yang lalu..... Dua puluh tahun yang terasa singkat bagi kami. Aku masih ingat kala terakhir bertemu dengan sahabatku ini. Pagi itu, dengan dihantarkan kedua orang tuaku, aku berpamitan pada guru kami tercinta, almarhum romo kyai Muslim. Di kediaman Beliaulah terakhir aku bertemu dengan Rusmin, sahabatku itu. Baru dua minggu ia menjadi khodam di kediaman romo kyai Muslim. Aku masih ingat kata-kata perpisahan yang aku ucapkan kepadanya.

"Rus, aku berharap suatu saat nanti kita bertemu dalam suasana yang menggembirakan."

Ia hanya mengangguk sembari memelukku erat. Kulihat ada air bening mengalir dalam matanya yang sendu itu. Dekapannya semakin mengguncang. Tak terasa tangis kamipun berhamburan laksana embun pagi yang membunuh sunyi.

Delapan tahun bersama di pesantren. Delapan tahun dalam bilik yang sama. Suka duka kami rasakan. Dan saat ini kami harus berpisah.

"Syarif! Cepat tembak kepalaku! Aku ingin syahid Syarif! Aku ingin Syahid! Cepat tembak kepalaku Syarif!!!"

Tiba-tiba aku terhenyak demi mendengar kata-kata sahabatku yang perkasa ini.

Kini, kami berhadapan lagi. Dia yang kukenal sebagai Abu Rozak, Imam Pasukan Mujahidin di pulau ini, ternyata adalah Rusmin.

Rusmin, sahabatku terkasih. Sahabat yang dulu merawatku ketika aku terkena busur panah ketika kami latihan dulu di pesantren. Sahabat yang pernah membelaku mati-matian ketika lurah pondok pesantrenku menuduhku sebagai pencuri pakaian di tempat kami nyantri. Sahabat yang pernah..... Ah, Rusmin...... apa yang harus aku lakukan padamu!

DORRR!!!

Tiba-tiba tubuhku terhuyung lemas. Serasa berat sekali kepalaku.... Dan tiba-tiba rasa dingin mulai menghampiriku. Ah, entah dari mana peluru ini bisa menembus dadaku.

"Syarif!  Syarif!......"

Saturday, April 25, 2015

LASIH, SANG KEMBANG DESA


Malam semakin larut. Biduan-biduan cantik dari grup organ tunggal yang sedang meramaikan pesta pernikahan itu semakin menggairahkan. Tidak hanya suara saja yang mereka pamerkan. Keseksian gerakan tubuh dan desahan-desahan menggemaskan mereka keluarkan dengan penuh candaan. Tamu undangan dan penonton semakin malas untuk meninggalkan kemeriahan pesta itu.

Sementara itu di kamar pengantin, sang pengantin pria sudah bersiap-siap menunaikan kewajibannya. Senyumnya merekah, matanya tajam seperti singa yang hendak menangkap mangsanya.

Lasih, begitu nama sang mempelai wanita, masih tertegun dihadapan lelaki yang telah dengan sah menikahinya. Tidak seperti sang mempelai lelaki, perasaannya justru berseberangan dengan lelaki yang ada dihadapannya.

Ah, andai dia tahu, ini bukan pertama kalinya aku merasakan keringat lelaki. Dan sebentar lagi mungkin dia tahu. 

Apa yang harus aku lakukan? Apakah dia akan rela menerima keadaanku yang sesungguhnya? Atau... jangan-jangan malam ini menjadi malam terakhir dalam hidupku. Ahhh.... Mati aku.... Begitu batin Lasih berkata.

Lasih, kembang desa yang cantik, kini pulang ke kampungnya. Ia hanya pulang untuk menikah. Tidak ada lagi alasan kepulangannya selain itu. Ia tak pernah ditanya apa pekerjaannya di kota. Bahkan calon suaminya pun tak pernah menanyainya.

Lasih, kembang desa yang baru pulang ke kampungnya, hanyalah penghibur di ibu kota sana. Entah apa yang akan terjadi di malam pertamanya.

Wednesday, February 18, 2015

THANKS FOR THE MEMORIES

Aku tak tahu, apa lagi yang harus aku lakukan setelah melepasmu pergi. Dahan cemara masih basah waktu itu. Sementara dedaunan limau masih menunggui embun dengan cantiknya. Oh sungguh mengharukan. Tak terasa butiran air jernih menetes di pipi mungilku. Sekali lagi, apa yang harus aku lakukan setelah aku melepas kepergianmu?

Bukit di utara sana berdiri dengan tegarnya. Ingin sekali aku menirunya. Tapi.... bisakah aku?

Seperti merpati yang kehilangan satu sayapnya, begitulah gambaran jiwaku waktu itu. Perlahan namun pasti, kau bunuh sisa-sisa rindu yang terkadang masih menyapaku. Begitu kejamkah dirimu? Dan untuk kesekian kalinya, apa yang harus aku lakukan setelah melepas kepergianmu?

Lukisan wanita yang berjudul "Violet" itu masih menempel di dinding kamarku. Lukisan yang kau berikan sepuluh tahun yang lalu. Lukisan yang kau buat sendiri dengan jari-jari indahmu itu. Masih ingatkah kamu?

Sepasang sapu tangan dengan bordir "hati" ditengahya masih kulihat di almari pakaianku. Sapu tangan yang dulu kau beli dengan keringatmu sendiri. Sapu tangan yang memikat hati siapa saja yang melihatnya. Masih ingatkah kamu?

Sementara di sisi ruangan lain di rumahku, masih saja kulihat bonsai indah yang mulai mengering. Bonsai yang kau bawa sendiri dengan sepeda motor bututmu yang dulu. Masih ingatkah kamu?

Setiap pagi, kicauan kenari masih terdengar dari rumah sebelah. Kicauan yang dulu kau banggakan dengan segenap perkataan manismu. Masih ingatkah kamu?

Ah, terlalu banyak hal yang semestinya aku buang jauh ke telaga sana. Apalagi sekarang, ketika aku melihatmu dipelaminan itu. Pelaminan yang dulu kau harapkan, sekarang terkabul jua. Hanya satu yang membuatku terluka. Sangat terluka.....

Aku...... tak ada disampingnya.

Thursday, February 12, 2015

KAMAR 7

Bahar masih menikam gadis cantik itu di depanku. Laksana singa yang sedang kelaparan, berkali-kali ia tusuk perut wanita pujaannya itu. Seperti kesetanan, ia tak mempedulikan lagi sekitarnya. Bahkan aku yang berada kurang lebih tiga depa dari badannya seakan tak kelihatan dimatanya yang nanar. Merah. Menyeramkan. Sungguh mengerikan!

Sungguh pemandangan yang berbanding terbalik. Sejam yang lalu, Bahar, seorang lelaki muda dengan bekas sayatan silet diwajahnya, masih berbincang manis dengan wanita itu. Sepengetahuanku, mereka sudah menjalin hubungan terlarang itu semenjak tiga bulan yang lalu. 

Rosmela nama wanita itu. Aku dikenalkan padanya oleh Bahar ketika aku baru saja menghirup udara kebebasanku. Di depan para sipir yang sudah berteman denganku selama empat belas tahun ini, ia memperkenalkan Rosmela sebagai kekasih barunya. Ah, Bahar, kelakuanmu masih saja sama. Suka bermain wanita.

Semenjak itu, aku dan Rosmela biasa bertemu di gang itu. Gang yang berisi para mami dengan anak-anak asuhan mereka. Gang dimana aku terbiasa mencicipi kopi bersama Bahar ketika aku belum masuk penjara dulu. Rosmela ternyata penghuni baru di gang itu.

"Bang, bisa kita bertemu sekarang? Segera bang! Aku butuh bantuanmu."

Pesan yang baru saja masuk di handphoneku itu sedikit mengusik ketenanganku.  Spontan aku telepon dia.

"Maaf ini siapa?"

"Aku Rosmela bang!"

Rosmela? Apa yang membuatnya ingin segera bertemu denganku. Ah, beribu tanya hinggap dalam otakku.

"Bisa kan bang?"

Aku masih terpaku mendengar permintaannya.

"Baiklah. Dimana kita bertemu Ros?"

"Di losmen Kecik. Segera ya bang!"

Tanpa babibu segera aku berlari ke kamar mandi hanya untuk sekedar cuci muka. 

Ah, losmen Kecik. Bagaimana aku bisa melupakan losmen itu? Losmen dimana dulu aku menghabisi selingkuhan isteriku. Losmen dimana untuk pertama kalinya aku berurusan dengan para penegak hukum di negeri ini. Ah, Kecik Sialan! Gumamku.

Setelah beberapa menit, sampai pula aku di depan losmen itu. 

Benar saja, Rosmela sudah menungguku di depan losmen itu. Sekilas kulihat senyumnya begitu menawan. Ah, sialan! Aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Apalagi dia adalah kekasih sahabatku.  Sahabat sedari aku kecil, Bahar.

Belum sampai aku di depannya, tiba-tiba handphoneku berdering. Sebuah pesan singkat masuk. Kamar 7 bang! Hmm, ternyata pesan dari Rosmela. Dan kulihat ke depan losmen, Rosmela sudah tak ada lagi di depan losmen itu.

Tiba di dalam losmen aku langsung menuju kamar nomor tujuh. Brengsek! Ini kamar dimana isteriku dulu berselingkuh. Apa sebenarnya maksud Rosmela? Ataukah ini hanya kebetulan saja? Ah, pikiranku sudah mulai tak karuan. Begitu aku masuk kamar itu, Rosmela langsung memelukku.

"Ros, lepaskan Ros! Lepaskan!"

"Maaf bang, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan suatu rahasia pada abang. Ketahuilah bang, kalau...."

Belum sempat Rosmela mengakhiri pembicaraannya, tiba-tiba saja kamar kami didobrak. 

Alangkah terkejutnya kami. Bahar dengan garangnya langsung menusuk Rosmela yang masih dalam posisi memeluk tubuhku. 

Tendanganpun mendarat dipunggungku. Aku terhuyung dan jatuh beberapa depa dari mereka berdua.

Bahar menutup Rosmela dengan tangan kananya. Sementara tangan kirinya yang memegang pisau ditusukkannya berkali-kali ke perut Rosmela. 

Perlahan, tubuh Rosmela terlihat lemas. Dengan kasarnya Bahar membanting tubuh Rosmela yang sudah tak bernyawa itu ke lantai kamar.

"Sekarang giliranmu! Kau ingat, di kamar inilah dulu kau habisi nyawa adik angkatku. Sekarang, susullah adik angkatku itu! Bersiap-siaplah menyusulnya!"

Tiba-tiba saja bahar menjambak rambutku. Didekatkannya mulutnya ke telingaku.

"Susul juga mantan isterimu keparat! Asal kau tahu, semalam isterimu dan anakmu yang cantik itu aku habisi! Menyusullah segera keparat! Hahaha...."

Oalah Gusti.... 



Banyumas, 12 Februari 2015


Monday, February 9, 2015

SELAMAT SIANG CINTA

Selamat siang cinta.....

Sama seperti hari kemarin, aku masih mengais sisa-sisa rindu yang mulai pudar termakan zaman. Entahlah, mungkin aku sudah bosan dengan ketiadaanmu yang selalu menghardik batinku. Disini, sepuluh tahun yang lalu, aku memberimu sepasang mawar merah. Sepasang mawar yang mengoyak seluruh jasadku sampai habis. Sepasang mawar yang membunuh cintaku dengan angkuhnya.

Suasana taman itu masih seperti dulu. Hanya ada bougenville yang terlihat semarak dari balik gubuk ini. Sementara burung-burung manyar yang selalu bernyanyi di tepi kolam itu kini tinggal guratan semu. Tak ada lagi nyanyian merdunya. Sama seperti diriku, kehilangan kemerduan wajahmu.

Aku masih disini cinta. Sekadar menatap taman dan kolam yang mulai mengering itu. Ah, mengering di musim hujan. Sungguh mencengangkan!

Cinta.... Masih sama seperti dulu. Aku masih bersandar di pohon mahoni di depan gubuk ini. Seakan ada dirimu disampingku. Ah, sungguh menyakitkan!

Upz, seorang anak kecil bermain balon di samping kolam itu. Seorang wanita cantik berkerudung jingga menemani anak itu. Wanita cantik yang sepertinya tak asing bagi diriku. Ah, dia.....

Lantas, bagaimana aku harus mengubur mimpiku yang kelam itu, sedangkan wajahmu selalu memburu setiap desahan nafasku. Ough... membuncah sudah.



Saturday, February 7, 2015

A LETTER OF LOVE

Kasih.... apa yang kau lakukan malam ini untuk mengenangku? Membaca puisiku? atau hanya sekedar menyebut namaku di hatimu? Jadi ingat ketika masih SMA dulu. Malam menjelang pagi seperti ini, aku masih mengeja sedikit demi sedikit namamu. Sembari mendengarkan surat-surat cinta yang biasa dibacakan oleh penyiar favoritku di radio itu. Radio gaulnya anak muda masa itu. Ah, sungguh indah. Apalagi setelah pembacaan surat cinta itu selesai, biasanya langsung diputarkan lagu yang pas sekali dengan isi surat cinta itu. Oh syahdunya.

Kasih... Jujur, untuk mengingat namamu saja aku susah. Bukan karena aku melupakanmu ataupun membenci setiap pertemuan yang terjadi saat ini, bukan! Bukan itu!

Aku hanya ingin mengenang yang indah-indah saja. Hanya itu sebenarnya. Tapi entah mengapa ketika aku teringat wajahmu, rautan-rautan kepedihan itu muncul begitu saja. Rautan yang masih tertanam hingga sekarang. Kasih.... Itulah sebabnya aku mulai tak berdaya ketika mencoba mengeja namamu, huruf demi huruf.

Kasih.... Apa yang akan kau lakukan ketika kau membaca tulisan sederhanaku ini? Aku berharap, ada sedikit cahaya kebahagiaan walau sesaat. Bukankah kebahagiaan yang kita miliki hanya sesaat?

Selamat malam kasih.... Selamat malam cinta.... Semoga rembulan di awan sana menceritakan kegundahanku pada dirimu.

Thursday, January 22, 2015

MBAH SURO

Semenjak kematian mbah Suro, dusun Glathak semakin senyap setiap malamnya. Mbah Suro, lelaki paruh baya yang terkenal dengan ketinggian ilmu kanuragannya akhirnya tewas mengenaskan di tepi kali Tajum. Kepalanya sampai sekarang belum ditemukan. Hanya tubuhnya yang tak berkepala saja yang ditemukan di pinggir kali seminggu yang lalu. Yang mengherankan, tak setetespun darah yang mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong itu. Sungguh mencengangkan!

Masih lekat diingatan kang Tarsun ketika seminggu yang lalu ia bersama kang Bodong menemukan jasad mbah Suro. Pagi masih buta ketika kang Tarsun dan kang Bodong berangkat memancing ke kali Tajum. Dua lelaki yang sudah bersahabat semenjak kecil itu memang punya kesamaan dalam banyak hal, termasuk memancing. Tak seperti biasa, pagi itu mereka sengaja memancing di sebuah kedhung yang terkenal dengan keangkerannya. Kedhung yang berada di kali Tajum itu bernama kedhung gathuk. Entah apa yang melatari pemberian nama tersebut. Yang jelas, di bagian atas kedhung itu terdapat pesarean keramat yang biasa digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual oleh warga sekitar.

Ritual yang mereka sebut sebagai ritual kaperlonan. Ritual tersebut biasa dilaksanakan pada setiap pasaran Kemis Manis. Ratusan orang berbondong-bondong membawa tumpeng ke pesarean tersebut. Disana mereka berdo'a meminta rezeki dan keselamatan. Ritual yang telah berumur ratusan tahun tersebut masih berjalan sebagaimana mestinya

"Kang, pagi ini aku merasa bahwa kita akan mendapat ikan banyak di kedhung ini." Kang Tarsun yang usianya setahun lebih muda dari kang Bodong mulai membuka percakapan.

"Aku akui Sun, firasatmu lebih tajam dariku. Tapi kali ini sepertinya aku berbeda pendapat denganmu. Kau tahu kenapa? Karena semalam aku tak diberi jatah oleh isteriku. Hahaha."

"Halah, sampeyan bisa saja. Apa hubungannya dengan bakul manuk? Hahaha.  Sstt.... Kalau tak diberi jatah, pergilah ke dukuh Srinem. Hahaha."

"Aku pernah ke sana Sun. Kebetulan aku punya teman disana. Germo! Hahaha. Kalau kamu mau, nanti aku tak SMS dia. Hahaha."

"Asem!"

"Kau yakin kang mau memancing di kedhung gathuk? Bukankah kedhung itu terlarang untuk warga sini kang?"

"Sun... sun.... Kenapa kau ini? Takut? Lagi pula dua minggu yang lalu aku melihat Tarjono bersama dua kawannya memancing disana."

"Tarjono anaknya mbah Suro? Bukankah dia sedang kuliah di Bandung kang?"

"Iya, Tarjono anaknya mbah Suro. Katanya sih begitu. Tapi dua minggu yang lalu aku melihat dia bersama dua wanita cantik memancing disana. Mereka dapat banyak ikan Sun. Aku melihatnya sendiri. Waktu itu aku sedang di seberang kedhung. Mereka menunjukkan hasil pancingan mereka kepadaku Sun. Sangat banyak. Aku lihat ada putihan, bethik, boso, bahkan ada sidat besar. Sidat terbesar yang pernah aku lihat seumur hidupku Sun."

"Hmmm... Aneh."

"Apa maksudmu Sun?"

"Bukankah dia tak pernah pulang kampung? Tapi entahlah... Mungkin dua minggu yang lalu ia pulang."

"Bagaimana Sun, kau masih takut untuk memancing disana?"

"Setelah mendengar cerita sampeyan, aku jadi tertantang untuk memancing disana Kang..."

"Bagus Sun. Nyalimu memang besar. Sebesar upilku ini. Hahaha."

"Asem!"

Benar juga kata kang Bodong. Baru sekitar tiga menit mereka memancing, sudah tiga ikan besar mereka dapatkan. Menit demi menit berlalu. Tak terasa kumbu mereka sudah penuh terisi ikan. Saking asyiknya mereka memancing, mereka tidak menyadari ada sesuatu yang menyangkut di pohon glagah yang berada di samping mereka. Sampai akhirnya, sesuatu yang ternyata mayat tersebut mengambang di depan mereka berdua.

Kaget, takut, heran bercampur menjadi satu. Sontak mereka saling memandang. Dan tanpa babibu, mereka langsung berlari kencang sambil berteriak sejadi-jadinya.

"Wong kendhang.... wong kendhang!"

Teriakan yang disertai gemetar badan membahana disekitar pinggiran kali Tajum itu. Seketika, beberapa warga yang sedang beraktivitas di sekitar kali itu tergopoh-gopoh mendekati mereka berdua.

"Dimana orang tenggelamnya? Dimana?"

"Di... di.. di... di....."

"Dimana Bodong! Jangan da di da di seperti itu. Cepat, katakan dimana!"

"Di kedhung gathuk itu kang?"

"Dasar wong edan! Berani-beraninya kalian memancing disana!"

Titir pun bersahutan......

Kenthongan tanda kematian itu bersahutan silih berganti di seantero dusun Glathak.

Thong.......... thong........... thong......... thong........ thong................................



"Mana mayatnya mana?" Teriak seorang warga.

"Di kedhung gathuk kang!" Beberapa warga menimpalinya.

"Pak Lurah sudah tahu?"

"Sudah kang. Tadi kang Bodong  ke dalemnya pak lurah. Dia dan kang Tarsun yang pertama kali melihat mayatnya."

Akhirnya, seluruh warga Glathak menuju ke kedhung Gathuk. Kedhung, yang berarti suatu tempat di dalam kali yang kedalamannya melebihi kedalaman beberapa tempat disekitarnya adalah tempat yang sering dihindari oleh warga. Kebanyakan karena takut. Disamping karena kedalamannya, konon di tempat seperti itu bersemayam makhluk-makhlus halus yang menyeramkan. itu berdasar cerita warga di dusun Glathak.

Tak ketinggalan, mbah Rana, salah satu tokoh spiritual di dusun itu berangkat kesana. Sembari membawa kembang kanthil dan mawar, mbah Rana, dengan pakaian kebesarannya, baju beskap dan iket ireng mendatangi lokasi ditemukannya mayat.

Sembari membaca mantra, mbah Rana mulai menebarkan kembang-kembang tersebut disekitar kedhung Gathuk. Aneh tapi nyata, mayat yang tadinya sudah pindah ke tengah kali, tiba-tiba saja, seakan terdorong sesuatu, mayat itu bergerak dengan cepatnya ke pinggiran kedhung. Dengan sigap, beberapa warga yang sudah bersiap-siap mengambil mayat,langsung menceburkan diri ke sungai. Dengan cara dibopong, mayat yang ternyata tanpa kepala tersebut mereka angkat.

Geger. Ya geger. Tangisan, teriakan, dan beraneka rupa ucapan ketakutan keluar dari beberapa warga yang melihat mayat tanpa kepala itu. Dengan penuh konsentrasi, Mbah Rana memandangi seluruh bagian mayat itu.

"Suro... Sungguh malang nasibmu. Kenapa kau harus merelakan jiwamu diambil oleh eyang Tayu?"

Mbah Tinah, isteri mbah Suro mengiyakan, bahwa mayat yang di depannya itu adalah mayat suaminya. Gelang tangan hitam, sama seperti yang dimiliki oleh mbah Rana adalah petunjuknya. Mbah Rana dan mbah Suro adalah satu perguruan. Guru mereka berada di Lereng Sadang. Lereng gunung di dusun Glathak yang tak berani seorangpun menjamahnya. Kecuali Rana muda dan Suro muda. Disitulah semenjak muda, mereka berguru pada Mbah Talun. Seorang pendekar yang masih merupakan keturunan dari leluhur dusun Glathak.

Semenjak penemuan mayat mbah Suro yang tanpa kepala dan tanpa ceceran darah itu diketemukan, malam demi malam di kampung Glathak menjadi sunyi. Apalagi disekitar kali, sama sekali tak ada warga yang berani beraktivitas disana.

Konon, saking sayangnya mbah Suro kepada anaknya, ia bersedia menjadi tumbal atas perbuatan anaknya yang memancing di kedhung Gathuk. Kedhung yang terlarang bagi warga dusun Glathak untuk mencari ikan disana. Tapi yang jelas, sudah hampir dua bulan ini, Tarjono anaknya mbah Suro tidak pernah pulang ke kampung. Termasuk disaat kang Bodong melihatnya memancing di kedhung Gathuk.



Ilustrated by : youtube.com







Tuesday, January 6, 2015

MONOLOG JIWA

Aku mungkin masih bisa menari disela-sela pagi. Mungkin, ya mungkin. Tentu saja ketika engkau sedikit menyibakkan wajahmu dari balik tirai yang tak beraturan itu. Mungkin? Ya, mungkin.

Tapi aku adalah lelaki yang tidak menyukai kemungkinan. Sangat..... sangat membenci kemungkinan. Mendengar kata "mungkin" saja perutku serasa mual. Muak! Aku tidak tahu kenapa.

Sedari kecil, aku sangat membenci kemungkinan. Sekali lagi aku tak tahu mengapa. Aku hanya menyukai kepastian. Walau pada akhirnya, karena kepastian itulah jiwaku terkoyak..... terhuyung...... lemah tak berdaya.

Hal apalagi yang lebih menyakitkan dari pada matinya jiwa? Bisakah kau menjawabnya?

Tepukan-tepukan kemungkinan makin menyesakkan dadaku. Bencana-bencana kepastian makin menohok tulang belulangku. Ah, apa pula ini.

Mungkin perkataanku hanya berlaku ketika engkau sudah berhasil memaku ruhku di samping kamarmu..... Sadarkah kamu?


Saturday, December 13, 2014

SALAHKAH AKU MENCINTAIMU ?

Mencintaimu sungguh menjemukan. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan agar kamu mencintaiku. Jangankan mencintaiku, memperhatikanku saja sepertinya tidak. Sungguh melelahkan ! Tapi aku benar-benar tidak sanggup untuk membendung cintaku yang menggebu-gebu ini. Harus bagaimana aku ini ?

"Selamat pagi mas ? Oh ya, nanti sore datang ya ke rumahku. Ada yang hendak aku sampaikan kepada mas. Datang ya !"

Aku hanya tersenyum. Belum sempat aku menjawab pertanyaanmu, engkau sudah hilang tertelan pagi. Ah, mengesankan.

"Assalaamu 'alaikum.... "

"Wa'alaikumussalaam warahmatullah....  Selamat datang mas. Silakan duduk !"

Untuk sejenak engkau pergi dari ruang tamu. Entah apa yang kau kerjakan di dalam. Sementara mataku mulai memandangi setiap sudut ruang tamu di rumahmu yang mungil itu. Ada goresan pena pada dinding yang bercat pink itu. Umi, I love you....  Hmm, sungguh indah tulisan itu. Ada juga kaligrafi berlafadz basmallah. Jika dipandang dari beberapa meter, maka kaligrafi itu menyerupai gambar seekor burung dengan ekor panjang yang aduhai cantiknya.

Belum selesai aku memandang sudut-sudut ruang tamu itu, tiba-tiba engkau sudah datang membawakanku segelas air putih.

"Maaf mas, hanya air putih. Kebetulan kita sekeluarga hanya mengkonsumsi air putih sebagai minuman. Maaf kalau mas kurang berkenan."

"Tidak apa-apa de. Mas juga mengkonsumsi air putih kok untuk minuman keseharian mas. Kok bisa sama ya ?" Aku mulai membuka percakapan di sore yang menurutku indah. Menurutku tentu saja.

"Bisa jadi mas. Mungkin banyak kesamaan diantara kita. Oleh karena itulah aku menyanggupi permintaan mas. Aku bersedia menjadi isteri mas Hafiz."

Deg. Jantungku seakan berhenti berdenyut. Perempuan yang selama ini aku cintai, ternyata bersedia menjadi isteriku. Aku benar-benar tak menyangkanya. Perempuan yang selama ini seolah-oleh tak memperhatikanku. Ternyata ia mencintaiku. Benarkah ?

" Mas ! Kok diam ? Jujur saja mas, aku mencintai mas Hafiz semenjak pertama kali melihat mas di ujung perumahan itu. Hanya saja aku takut untuk menjawab pertanyaan cinta mas Hafiz. Aku takut mas ! Aku tidak mau gagal untuk yang kedua kalinya. Itu alasan pertamaku. Alasan selanjutnya adalah, apakah mas benar-benar mencintaiku ? Aku lebih tua dari mas Hafiz. Disamping itu, aku adalah janda beranak dua. Aku benar-benar tak berani menjawab pertanyaan mas Hafiz perihal kesediaanku sebagai isteri mas. Oleh karena itulah aku senantiasa berusaha untuk menjauhi mas Hafiz. Tapi mas.... Semakin aku berusaha menjauhi mas Hafiz, semakin kuat pula perasaan cinta ini sama mas. Maafkan aku mas. Maafkan aku... Karena baru kali ini aku menyetujui permintaan mas Hafiz. Bagaimana mas ? Apakah mas masih mencintaiku ?"

Oh my God, tentu saja aku masih mencintaimu. Aku hanya bingung. Ya bingung. Setelah engkau bersedia menerimaku sebagai suamimu, apakah isteriku akan bersedia menerimamu sebagai isteri keduaku ?



image by : imanbendjedidi.blogspot.com

Saturday, December 6, 2014

CATATAN CINTA

Setelah kepulanganku ini, mungkin aku tidak lagi dapat melihatmu. Entah besok atau lusa ketika aku singgah disini, ya disini, mungkin aku bisa menikmati lagi segelas teh manis buatanmu. Atau sekedar melepaskan pandanganku ke arah wajahmu yang ayu itu. Sungguh aku merindukan semua itu.

Aku tak dapat lagi berkata-kata. Hanya catatan kecil ini yang bisa kutinggalkan untukmu. Catatan kecil yang entah akan kau baca atau tidak. Sungguh, aku tidak bisa meninggalkan apa-apa kecuali catatan ini.

Cinta memang sulit diterka. Seperti anak panah yang lepas tertiup angin nan kejam. Ia bisa menembus siapa saja, tak terkecuali aku dan .... kamu.

Aku tidak tahu, bagaimana bisa keacuhanku menjadi cinta di jiwaku. Aku hanyalah lelaki kecil yang tak beralas kaki, dan kaupun tahu itu. Kenapa dan untuk apa aku mencintaimu ? Akupun tak tahu. Yang aku tahu, bahwa cinta tak pernah salah. Itu saja !

Adakah pertanyaan seperti itu dalam hatimu ?

Saat ini aku harus pergi. Sudah lama aku tak melakukan perjalanan seindah ini. Walau hati terluka.... menganga, tapi aku harus tetap melakukan perjalanan suci ini.

Harapanku, aku bisa singgah kembali di rumahmu. Jika tidak, maka kutunggu engkau di istana kecilku. Bukankah engkau juga mengaharapkan itu ?


Ah sudahlah.....

Aku selalu mencintaimu, dan kuharap engkaupun seperti itu. Selamat tinggal sayang............

Wednesday, November 12, 2014

LELAKI TERLUKA

Aku hanyalah lelaki yang terluka di ujung senja. Seperti malaikat yang rapuh tanpa sayapnya. Namun, aku tetaplah lelaki. Dan sifat kelelakianku ini akan selalu menuntunku untuk bergerak, walau dengan ribuan luka.

Sudah puluhan wanita aku taklukkan, tapi kali ini sungguh aku tak berdaya melawan keperkasaanmu,wahai pujaanku. Ribuan kata manis dan berderet-deret gurindam cinta tak lagi kau hiraukan. Bahkan, guna-guna asmarakupun tak lagi berguna. Sia -sia ! Sungguh mengenaskan.

Kau kukenal dari balik jeruji itu. Jeruji hitam yang mulai tenggelam dimakan zaman. Kau wanita itu. Ya, wanita dari balik jeruji. Mungkin karena itulah engkau ditakdirkan perkasa. Namun aku bukanlah Yudhistira, yang begitu saja menyerahkan Drupadi kepada Kurawa karena kekalahan dadu-dadu durjana. Bukan !

Bahkan aku ingin seperti Rahwana. Menculik Shinta bukan karena nafsu birahi semata, tapi karena pengetahun yang merupakan wisik dari pada Dewa. Bukankah kesaktian adalah pengetahuan? Ah sudahlah, kita tinggalkan saja cerita-cerita itu semua. Sekali lagi aku hanyalah lelaki. Dan aku berhak mencintai. Itu saja !

Tapi..... Bagaimana aku harus menyembuhkan lukaku ini ? Sedangkan engkau masih berputar-putar dalam tidurku. Sungguh menyebalkan ! Tapi tenanglah cintaku.... Aku memang lelaki terluka. Tapi aku adalah titisan cinta. Dan dengan luka-luka ini, aku akan membakar sekujur tubuhmu dengan asmaraku. Bersiap-siaplah wahai pujaanku.

Dari balik awan itu, akan aku hujamkan ribuan senandung smarandhana. Sampai kau terluka. Ya terluka. Bukankah dengan luka, maka engkau akan mengetahui makna sebuah bahagia ? Ah, kokok ayam membangunkanku dari mimpi panjangku. Berakhir ? Belum tentu ! Karena cinta adalah perjalanan jiwa setiap manusia.



Featured Post

Karakteristik Meeting Room yang Sesuai untuk Meeting

Karakteristik Meeting Room - Menjamurnya bisnis startup mendorong bermunculannya perusahaan pelayanan coworking space dan private space. Be...